Wednesday, 11 September 2013

Sutiyoso sang Jendral Lapangan

foto : dakta.com
Mengecap pendidikan SD di desa kelahirannya, melanjut SMP, SMA dan sempat kuliah satu tahun di Fakultas Teknik Untag di kota Semarang, yang diwarnai oleh kegemarannya berkelahi dan berolahraga (bertarung fisik). Hingga akhirnya setelah merenungi masa lalu (masa kecil dan remajanya) dan menatap masa depan, dia membulatkan tekad beralih masuk Akademi Militer (Akmil) tanpa lebih dulu memberi tahu orangtuanya, terutama Sang Ibu. (Bagian Satu: Masa Kecil Hingga Masuk AMN - Membalut Pasir Jadi Mutiara).

Di Akmil (kini AMN), selain sempat waswas dipanggil pulang orangtua, Sutiyoso juga melewati perpeloncoan yang super berat dan menyakitkan. Dia menjadi bulan-bulanan para senior yang antara lain tampaknya melepas dendam, karena ketika di SMA satu angkatan, mereka selalu ketakutan kepada Sutiyoso. Di Akmil, Sutiyoso menjadi junior satu tahun karena sempat kuliah di Untag. Di lehernya digantungkan nama julukannya selama pelonco: Kurang Permak. Sehingga dia menjadi bulan-bulanan beberapa seniornya. Dia dipelonco hingga babak belur, membuat Sutiyoso bagai anak kerang yang merintih kesakitan akibat kemasukan pasir dalam perutnya. Saking sakitnya, nyaris dia melarikan diri, tetapi dengan kepasrahannya kepada kehendak Allah dan impiannya yang membara menjadi tentara, tiba-tiba muncul sesuatu yang membuatnya tabah dan kuat. Dia tabah membalut pasir kepedihan dengan tahan banting, hingga menempa dirinya laksana mutiara.

Setelah menyelesaikan pendidikan di Akmil (1968), Sutiyoso dengan penuh semangat melanjutkan pengasahan dirinya dengan mengikuti Kursus Sarcab Infateri (1969) sebagai konsekuensi atas pilihannya memilih kesatuan infanteri untuk karier militernya. Selepas itu, tidak mau tanggung-tanggung dan ingin berbakti secara total, dia pun memilih menjadi perwira di satuan Komando Pasukan Khusus (Kopassus), yang kala itu bernama Pusat Pasukan Khusus (Puspassus) TNI AD, yang kemudian tahun 1971 menjadi Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopassandha).

Untuk bisa menjadi perwira di Kopassus, harus dilalui dengan seleksi yang ketat dan dilanjutkan tahapan pendidikan dan pelatihan komando, mulai dari tahap basis berupa pendidikan dasar komando, tahap gunung dan hutan, serta tahap rawa laut. Setelah lolos melalui semua tahapan pendidikan komando itu, Sutiyoso pun dilantik menjadi prajurit (perwira muda) para komando dengan mengenakan Baret Merah. (Bagian Dua: Gigih dalam Latihan dan Karier - Laksana Bijih Platinum).

Setelah itu, proses pengasahan dirinya juga terus berlanjut dengan mengikuti Pelatihan dan Pendidikan Intelijen Tempur di Pusdik Intel Bogor (1973), Pendidikan Intelijen Strategis juga di Pusdik Intel Bogor (1976), dan Suslapa Infanteri (1978). Juga tekun mengikuti Kursus P4 (1983), dan Kursus Kewaspadaan Nasional (1983). Kemudian mengikuti Pendidikan Seskoad (1983-1984) serta memperdalam penguasaan bahasa dengan mengikuti kursus Bahasa Inggris (1986). Saat sudah berpangkat letnan kolonel mengikuti pelatihan on job training di Brigade 5 Airborne, Aldershot, Inggris (1987). Bahkan masih kuat nyali mengikuti pelatihan terjun bebas (freefall) saat sudah berpangkat kolonel (1988). Kemudian pada tahun 1990 mengikuti pelatihan Joint Service Staff College (JSSC) di Australia, setingkat Seskogab (Sekolah Staf Komando Gabungan). Bahkan pada saat berkunjung ke Amerika Serikat masih amat bergairah mengikuti terjun payung malam bersama tentara Amerika, Divisi 82 Airborne di Fortbragg, AS (1991). Lalu mengikuti Kursus Reguler Lemhannas (1993).

Dengan pengasahan diri tersebut, dia terbilang sebagai prajurit Kopassus yang amat tangguh dan teruji, baik dalam tugas operasi maupun tugas teritorial. Bahkan, Sutiyoso menjadi salah seorang perwira Kopassus yang paling teruji dalam tugas operasi dan intelijen tempur pada zamannya. (Bagian Tiga: Totalitas Prajurit Para Komando - Tugas Operasi Militer).

Pertama sekali, setelah diterima menjadi perwira pasukan para komando, Letda Infanteri Sutiyoso ditugaskan BKO Yonif 323 Banjar Patronan untuk melaksanakan tugas Operasi Pemberan­tasan PGRS/Paraku (1969) di Kalimantan Barat. Dia bertugas sebagai Komandan Pleton combat intelligence (intelijen tempur). Pada saat itu, dia dan pasukannya telah menunjukkan kehandalan dan kejelian (strategi) menghadapi musuh di medan belantara Kalimantan Barat. Mereka mengisolasi gerilyawan PGRS/Paraku dengan penduduk setempat, dengan menggalang kepercayaan penduduk setempat, memisahkan rakyat dengan gerilyawan PGRS/Paraku. Sehingga lebih mudah mengenali musuh serta memutus mata-rantai dukungan dan pasokan logistik kepada gerilyawan PGRS/Paraku tersebut. Sehingga gerilyawan PGRS/Paraku tidak ada yang berani muncul. Makanya selama bertugas di Kalbar, dia tak melepas sebutir peluru pun. (Bagian 03.01: Operasi Sapu Bersih PGRS/Paraku).

Sutiyoso tidak hanya siap ’berkelahi’ menyabung nyawa di Kalbar, tetapi juga dalam operasi intelijen tempur terbatas (Operasi Flamboyan) serta Operasi Seroja di Timor Timur (1975). Bahkan Pra Operasi Flamboyan (1974), Sutiyoso telah lebih dulu disusupkan sendirian secara klandestin ke perbatasan Timor Portugis tersebut dengan pertaruhan nyawa. Kisah penyusupannya secara klandestin ke Batugede, dan pertarungan­nya yang amat dramatis ketika menyerang markas tentara dan Kapolri (1968-1971)
polisi di Suai, Timor Portugis, terutama saat dia berjuang mengevakuasi empat anggota pasukannya yang tertembak, sungguh lebih otentik, heroik dan legendaris daripada film-film tentara Amerika produksi Hollywood. (Bagian 03.02: Menya­bung Nyawa di Timtim; 03.02.02.The Legend of The Blue Jeans Soldiers).

Begitu pula, ketika dia memimpin pasukan sandiyudha dalam operasi intelijen tempur melawan Gerakan Pejuang dari Aceh
Aceh Merdeka, di pedalaman Pejuang dari Aceh
Aceh (1978). Selama 10 bulan Sutiyoso memimpin operasi di Pejuang dari Aceh
Aceh, nyaris tidak sebutir peluru pun diletuskannya, kecuali satu peluru yang diarahkan tepat ke kaki juru masak Hassan Tiro yang mencoba melarikan diri. Bayangkan, dalam medan tempur sesulit itu, dengan ancaman nyawa bisa melayang seketika, dia sama sekali tak pernah gegabah meletuskan sebutir peluru dari moncong senjatanya. Dia pun tidak pernah memerintahkan anggota pasukannya melepas tembakan untuk membunuh pasukan separatis Gerakan Pengacau Keamanan (GPK-GAM). Kalau pun pasukannya terpaksa menembak, dia pastikan bukan tembakan yang diperintah­kan untuk mematikan melainkan hanya mengancam dan melumpuhkan. Namun, ketika itu, Mayor Sutiyoso dan pasukannya berhasil menangkap hidup-hidup (sebagian menyerahkan diri) semua tokoh GAM (kecuali Hasan Tiro) dan tidak ada satu orang pun yang dia bunuh atau dia perintahkan bunuh.

Kisah penangkapan para petinggi GAM hidup-hidup, yang diawali penangkapan Menkeu GAM yang hendak berangkat ke markas PBB di New York juga lebih otentik dari kehandalan tentara (intelijen tempur) Amerika yang selalu disuguhkan dalam drama film-film perang dan spionase Amerika. (Bagian 03.03: Penugasan Mendadak ke Aceh).

Beberapa kisah pertarungannya di medan operasi cukup otentik membuktikan bahwa dia seorang perwira intelijen dan infanteri pasukan elit yang bernyali sekaligus bernurani dan tidak pernah panik. Bayangkan, betapa luar biasanya dia. Seorang perwira infanteri pemberani (petarung) yang sejak kecil terbiasa berkelahi berdarah-darah, namun di medan operasi setangguh dan sesulit Aceh, dia sama sekali tak pernah melepas sebutir peluru dari moncong senjatanya. Itulah karakter militer Sutiyoso. Seorang pemberani bertempur di garis depan dalam jarak dekat (infanteri) yang selalu siap berkelahi, fight dengan menyabung nyawa, namun dipenuhi hati nurani[3] yakni perasaan hati yang murni dan yang sedalam-dalamnya, hati yang telah mendapat cahaya Tuhan.

Dalam medan seberat Kalimantan Barat, Aceh dan Timor Timur, jika keadaannya tidak sangat memaksa, dia selalu berusaha (nurani) untuk tidak mesti membunuh, tetapi selalu dengan gagah berani memastikan harus berhasil melumpuh­kan lawan dan memenangkan pertarungan (peperangan). Luar biasa! Sesulit apa pun tugas operasi, Sutiyoso selalu melaksana­kan­nya dengan sepenuh hati, pikiran, jiwa dan raga (total) serta tawakal.

Totalitas diri dengan memberikan segala sesuatu secara maksimal dan tak mengenal istilah setengah-setengah, adalah ciri pengabdian Sutiyoso selama berkarier sebagai perwira infanteri dan intelijen tempur Komando Pasukan Khusus TNI Angkatan Darat. Maka tak heran jika jenjang karier dan pangkatnya terus menanjak. Mulai dari Komandan Peleton Para Komando (1969) dengan pangkat Letnan Dua (1968-1969), naik jabatan menjadi Komandan Kompi Grup 2 Kopassandha, Magelang, dengan pangkat Letnan Satu (1971-1972). Kemudian, jabatannya naik menjadi Kepala Seksi I (Intel) Grup 2 Kopassandha dengan pangkat Kapten (1973-1977). Saat itu (1976), Grup 2 Kopassan­dha dipindah ke Solo. Saat menjabat Kasi I Grup 2 Kopassandha, Sutiyoso dipercaya mendampingi Kolonel Dading Kalbuadi mengamati perkembangan di perbatasan Timor Timur (Timor Portugis). Setelah itu menanjak menjadi Komandan Karsa Yudha Kopassandha berpangkat Mayor selama tiga tahun (1978-1981). Saat kerusuhan di Solo, ISSK Grup-2 Kopassandha di-BKO dengan Korem 074/Warastratama, Solo. Ketika itu, Sutiyoso, walau keterlibatannya sudah agak terlambat, berhasil meredam kerusuhan rasial di Solo.

Sumber: http://www.tokohindonesia.com

No comments:

Post a Comment