TAHUN 2013 ini merupakan tahun penantian yang dinanti untuk menyambut kedatangan berbagai jenis alutsista yang telah dipesan sebelumnya. Kedatangan berbagai jenis alutsista untuk TNI tahun 2013 sampai dengan tahun 2014 merupakan gelombang kedatangan yang diniscayakan mampu memberikan kebanggaan dalam upaya menggagahkan garda republik. Berbagai kesatrian TNI dari segala matra sedang mempersiapkan “resepsi pernikahan” antara batalyon mereka dengan pengantin yang dinanti bernama alutsista.
Pertanyaan Kemudian yang menggema tentu apakah cukup sampai disini atau apa setelah ini atau adakah selain yang ini. Kalau melihat pernyataan dari decision maker di Kemhan dan Mabes TNI, kalimat yang selalu keluar adalah : Sampai tahun 2014 MEF (Minimum Essential Force) akan mencapai nilai target 30-35% dari kebutuhan yang direncanakan. Maka secara matematis pengadaan alutsista apakah itu beli utuh dari luar negeri atau melalui transfer teknologi atau produksi dalam negeri akan tetap berjalan sampai tahun 2024.
MEF yang mencapai kisaran 30-35% tahun 2014 dipastikan akan berganti figur pemerintahan. Presiden Sby tidak lagi menjabat presiden setelah itu sehingga kalkulasi penyelesaian lanjutan pengadaan alutsista untuk MEF sampai dengan tahun 2024 masih berupa persimpangan. Namun kalau berhitung secara indikator makro ekonomi dengan prediksi kekuatan PDB tahun 2014 dan pertumbuhan ekonomi yang stabil tinggi seperti yang terjadi selama 8 tahun terakhir ini maka besaran nominal belanja militer juga ikut terangkat nilainya meski persentase rasionya tetap.
Menurut pemerhati pertahanan dari UI Andi Widjajanto untuk tahun 2014 nanti anggaran pertahanan RI yang terdiri dari belanja rutin dan belanja alutsista diprediksi akan mencapai angka 120 trilyun rupiah. Sementara untuk tahun 2019 diprediksi mencapai 190 trilyun rupiah. Jadi mestinya dengan indikator pertumbuhan ekonomi dan pertambahan PDB serta kekuatan daya beli (APBN) yang terus cemerlang, tidak ada alasan untuk tidak melanjutkan modernisasi alutsista TNI seusai MEF yang diinginkan, meski berganti figur kepemimpinan RI-1.
Sekarang secara jangka pendek, meski masih jauh, tentu perhitungan anggaran tahun anggaran 2014 dilakukan tahun 2013 ini demikian juga perhitungan anggaran 2015 dikalkulasi tahun 2014. Artinya masih ada dua tahun anggaran yang diproses oleh pemerintahan eksisting. Meskipun diantara semua perhitungan anggaran itu tentu ada yang multi years seperti pengadaan PKR 10514, maksudnya pagu anggarannya dibebankan selama 3-4 tahun. Tetapi logikanya mosok gak ada lagi yang mau dibeli selama dua tahun anggaran itu. Pasti ada dong, lalu apa kira-kira alutsista yang mau dibeli itu.
Prediksi optimis kita masih banyak yang ada dalam daftar belanja alutsista untuk kebutuhan MEF. Salah satunya kita meyakini akan ada pengadaan 2 kapal selam dari negara yang berbeda, selain Korsel yang sudah teken kontrak 3 Changbogo. Disamping itu Angkatan Laut yang akan memekarkan armadanya dengan 3 armada tempur tentu memerlukan tambahan kekuatan KRI yang signifikan termasuk kapal selam. Misalnya armada barat dan timur masing-masing memerlukan 60 kapal perang berbagai jenis ditambah dengan armada pusat dengan kekuatan 80 KRI itu berarti secara keseluruhan harus ada 200 KRI.
Sementara saat ini diperkirakan baru tersedia 140-145 KRI. Jika 3 KCR 60 buatan PAL, 3 LST, 2 BCM, 1 kapal latih, 3 KCR 40 Palindo dan 3 light fregat Nachoda Ragam Class bergabung sampai tahun 2014 hitung-hitungannya baru tersedia 155-160 KRI. Terus kekurangan 40 kapal perang itu bisakah dipenuhi dalam MEF tahap II tahun 2015-2019 karena selama periode itu tentu ada juga KRI yang memasuki masa pensiun. Sementara MEF tahap I 2010-2014 kita hanya mampu menambah 15-20 KRI. Pertambahan KRI di MEF II mudah-mudahan akan memberikan keseimbangan antara pertambahan KCR dan PKR termasuk kapal selam sesuai dengan mekarnya armada.
Angkatan Udara dengan kekuatan 16 Sukhoi, 34 F16, 16 T50 Golden Eagle, 16 Super Tucano, 32 Hawk dan 12 F5E pada tahun 2014 tentu belum masuk kategori gahar tetapi cukup memadai dalam menjaga kontrol udara dan kewibawaan dirgantara RI. Namun untuk menghadapi perkembangan situasi kawasan regional yang tidak pasti di masa depan seperti konflik Laut Cina Selatan, perkembangan militer Cina dan India kita tidak puas dengan sejumlah alutsista diatas.
Bukankah Presiden kita pernah mengatakan di depan Universitas Utara Malaysia baru-baru ini ketika menerima penghargaan Doktor HC, tidak ada jaminan di masa depan bahwa di kawasan ASEAN tidak akan terjadi perang. Oleh karena itu kita perlu memperkuat kekuatan pukul udara yang membanting dengan tambahan minimal 2 skuadron jet tempur dari marga Sukhoi untuk pemenuhan kebutuhan jet tempur kelas berat. Dari jet tempur kelas welter masih dibutuhkan setidaknya 2 skuadron jet tempur dari jenis Rafale atau Typhon sembari menunggu kedatangan jet tempur produksi bersama RI_Korsel IFX mulai tahun 2020.
Angkatan Darat juga masih banyak yang harus dipenuhi. Tidak cukup hanya dengan 100 MBT Leopard. Mestinya setiap pulau besar harus ada minimal 2 batalyon MBT. Termasuk dalam penyediaan rudal anti serangan udara, tidak lagi berorientasi rudal “Blok M-Harmoni” tetapi sudah mulai dipikirkan rudal dari jenis AKAP (antar kota antar provinsi) alias rudal jarak sedang. Yang membanggakan tentu perkembangan Roket Lapan yang sudah menuju 3 digit dan tahun ini akan diuju coba. Gabungan teknologi jarak tembak roket Lapan dikombinasi dengan teknologi rudal C705 akan memberikan kekuatan berlipat untuk pertempuran pre emptive strike.
Yang terpenting dari semua itu adalah mempertahankan konsistensi alias istiqomah dalam upaya mendandani militer kita dengan alutsista modern yang tidak hanya berkualitas tetapi juga bernilai kuantitas. Inilah pekerjaan MEF dengan halte 2014 sebagai koridor pergantian kepemimpinan. Ini juga titik kritis yang memang harus dilalui sebagai konsekuensi negara demokrasi. Kita meyakini RI-1 after 2014 adalah sosok yang mampu melihat cakrawala pandang yang bisa melihat perkuatan militer sebagai bagian yang tak tergantikan dalam mengusung nilai-nilai kewibawaan diplomasi dan harkat kedaulatan negara.
Memahami perkuatan persenjataan militer sebagai bagian dari kebutuhan negara modern yang melaju maju merupakan perspektif cemerlang untuk mengantisipasi segala cuaca ekstrim yang mungkin terjadi. Benar, tidak ada jaminan tidak akan ada perang di kawasan ini meski semua negara anggota ASEAN sudah merenda sulaman kebersamaan dalam harmoni. Maka perkuatan persenjataan itu adalah untuk mengawal dan memastikan perjalanan bangsa untuk siap menghadapi kondisi terburuk. Keandalan persenjataan militer adalah bagian dari nilai kewibawaan yang dibangun untuk memberikan peran dan pesan diplomasi yang jelas dan lugas. (sumber : garudamiliter.blogspot.com)
Pertanyaan Kemudian yang menggema tentu apakah cukup sampai disini atau apa setelah ini atau adakah selain yang ini. Kalau melihat pernyataan dari decision maker di Kemhan dan Mabes TNI, kalimat yang selalu keluar adalah : Sampai tahun 2014 MEF (Minimum Essential Force) akan mencapai nilai target 30-35% dari kebutuhan yang direncanakan. Maka secara matematis pengadaan alutsista apakah itu beli utuh dari luar negeri atau melalui transfer teknologi atau produksi dalam negeri akan tetap berjalan sampai tahun 2024.
MEF yang mencapai kisaran 30-35% tahun 2014 dipastikan akan berganti figur pemerintahan. Presiden Sby tidak lagi menjabat presiden setelah itu sehingga kalkulasi penyelesaian lanjutan pengadaan alutsista untuk MEF sampai dengan tahun 2024 masih berupa persimpangan. Namun kalau berhitung secara indikator makro ekonomi dengan prediksi kekuatan PDB tahun 2014 dan pertumbuhan ekonomi yang stabil tinggi seperti yang terjadi selama 8 tahun terakhir ini maka besaran nominal belanja militer juga ikut terangkat nilainya meski persentase rasionya tetap.
Menurut pemerhati pertahanan dari UI Andi Widjajanto untuk tahun 2014 nanti anggaran pertahanan RI yang terdiri dari belanja rutin dan belanja alutsista diprediksi akan mencapai angka 120 trilyun rupiah. Sementara untuk tahun 2019 diprediksi mencapai 190 trilyun rupiah. Jadi mestinya dengan indikator pertumbuhan ekonomi dan pertambahan PDB serta kekuatan daya beli (APBN) yang terus cemerlang, tidak ada alasan untuk tidak melanjutkan modernisasi alutsista TNI seusai MEF yang diinginkan, meski berganti figur kepemimpinan RI-1.
Sekarang secara jangka pendek, meski masih jauh, tentu perhitungan anggaran tahun anggaran 2014 dilakukan tahun 2013 ini demikian juga perhitungan anggaran 2015 dikalkulasi tahun 2014. Artinya masih ada dua tahun anggaran yang diproses oleh pemerintahan eksisting. Meskipun diantara semua perhitungan anggaran itu tentu ada yang multi years seperti pengadaan PKR 10514, maksudnya pagu anggarannya dibebankan selama 3-4 tahun. Tetapi logikanya mosok gak ada lagi yang mau dibeli selama dua tahun anggaran itu. Pasti ada dong, lalu apa kira-kira alutsista yang mau dibeli itu.
Prediksi optimis kita masih banyak yang ada dalam daftar belanja alutsista untuk kebutuhan MEF. Salah satunya kita meyakini akan ada pengadaan 2 kapal selam dari negara yang berbeda, selain Korsel yang sudah teken kontrak 3 Changbogo. Disamping itu Angkatan Laut yang akan memekarkan armadanya dengan 3 armada tempur tentu memerlukan tambahan kekuatan KRI yang signifikan termasuk kapal selam. Misalnya armada barat dan timur masing-masing memerlukan 60 kapal perang berbagai jenis ditambah dengan armada pusat dengan kekuatan 80 KRI itu berarti secara keseluruhan harus ada 200 KRI.
Sementara saat ini diperkirakan baru tersedia 140-145 KRI. Jika 3 KCR 60 buatan PAL, 3 LST, 2 BCM, 1 kapal latih, 3 KCR 40 Palindo dan 3 light fregat Nachoda Ragam Class bergabung sampai tahun 2014 hitung-hitungannya baru tersedia 155-160 KRI. Terus kekurangan 40 kapal perang itu bisakah dipenuhi dalam MEF tahap II tahun 2015-2019 karena selama periode itu tentu ada juga KRI yang memasuki masa pensiun. Sementara MEF tahap I 2010-2014 kita hanya mampu menambah 15-20 KRI. Pertambahan KRI di MEF II mudah-mudahan akan memberikan keseimbangan antara pertambahan KCR dan PKR termasuk kapal selam sesuai dengan mekarnya armada.
Angkatan Udara dengan kekuatan 16 Sukhoi, 34 F16, 16 T50 Golden Eagle, 16 Super Tucano, 32 Hawk dan 12 F5E pada tahun 2014 tentu belum masuk kategori gahar tetapi cukup memadai dalam menjaga kontrol udara dan kewibawaan dirgantara RI. Namun untuk menghadapi perkembangan situasi kawasan regional yang tidak pasti di masa depan seperti konflik Laut Cina Selatan, perkembangan militer Cina dan India kita tidak puas dengan sejumlah alutsista diatas.
Bukankah Presiden kita pernah mengatakan di depan Universitas Utara Malaysia baru-baru ini ketika menerima penghargaan Doktor HC, tidak ada jaminan di masa depan bahwa di kawasan ASEAN tidak akan terjadi perang. Oleh karena itu kita perlu memperkuat kekuatan pukul udara yang membanting dengan tambahan minimal 2 skuadron jet tempur dari marga Sukhoi untuk pemenuhan kebutuhan jet tempur kelas berat. Dari jet tempur kelas welter masih dibutuhkan setidaknya 2 skuadron jet tempur dari jenis Rafale atau Typhon sembari menunggu kedatangan jet tempur produksi bersama RI_Korsel IFX mulai tahun 2020.
Angkatan Darat juga masih banyak yang harus dipenuhi. Tidak cukup hanya dengan 100 MBT Leopard. Mestinya setiap pulau besar harus ada minimal 2 batalyon MBT. Termasuk dalam penyediaan rudal anti serangan udara, tidak lagi berorientasi rudal “Blok M-Harmoni” tetapi sudah mulai dipikirkan rudal dari jenis AKAP (antar kota antar provinsi) alias rudal jarak sedang. Yang membanggakan tentu perkembangan Roket Lapan yang sudah menuju 3 digit dan tahun ini akan diuju coba. Gabungan teknologi jarak tembak roket Lapan dikombinasi dengan teknologi rudal C705 akan memberikan kekuatan berlipat untuk pertempuran pre emptive strike.
Yang terpenting dari semua itu adalah mempertahankan konsistensi alias istiqomah dalam upaya mendandani militer kita dengan alutsista modern yang tidak hanya berkualitas tetapi juga bernilai kuantitas. Inilah pekerjaan MEF dengan halte 2014 sebagai koridor pergantian kepemimpinan. Ini juga titik kritis yang memang harus dilalui sebagai konsekuensi negara demokrasi. Kita meyakini RI-1 after 2014 adalah sosok yang mampu melihat cakrawala pandang yang bisa melihat perkuatan militer sebagai bagian yang tak tergantikan dalam mengusung nilai-nilai kewibawaan diplomasi dan harkat kedaulatan negara.
Memahami perkuatan persenjataan militer sebagai bagian dari kebutuhan negara modern yang melaju maju merupakan perspektif cemerlang untuk mengantisipasi segala cuaca ekstrim yang mungkin terjadi. Benar, tidak ada jaminan tidak akan ada perang di kawasan ini meski semua negara anggota ASEAN sudah merenda sulaman kebersamaan dalam harmoni. Maka perkuatan persenjataan itu adalah untuk mengawal dan memastikan perjalanan bangsa untuk siap menghadapi kondisi terburuk. Keandalan persenjataan militer adalah bagian dari nilai kewibawaan yang dibangun untuk memberikan peran dan pesan diplomasi yang jelas dan lugas. (sumber : garudamiliter.blogspot.com)
● Jagvane/2013
No comments:
Post a Comment