dok Puspen TNI |
Saat fajar mulai menyingsing, suasana hiruk pikuk mewarnai kesibukan anggota Kontingen Garuda di sekitar Bumi Nusantara Camp. Ada yang mempersiapkan diri untuk berangkat ke lokasi kerja, ada pula yang mempersiapan apel dan sarapan.
Pagi itu saya pergi ke dapur untuk mengambil air dan sarapan. Sesampainya di dapur saya mulai mengantre untuk mengisi air minum. Disaat mengisi air terdengar suara teriakan anak-anak kecil dari luar tanggul. Seketika pandangan mata saya langsung mengarah ke sumber suara.
Diluar dapur beberapa “Anak Kawat Duri” (sebutan untuk anak-anak Kongole yang sering datang di sekitar camp) sudah berdiri di atas tanggul bagian luar. Tanggul itu dipagari kawat duri yang melingkar mengelilingi camp tempat Pasukan Garuda XX-H.
Tangan anak-anak berpegangan pada duri-duri yang menempel di kawat pagar itu. Pakaian mereka compang-camping, kotor, dekil, dan sepertinya sudah berhari-hari belum pernah dicuci. Ada juga yang memakai pakaian berukuran besar, yang tidak sesuai dengan ukuran tubuhnya hingga kelihatan kedodoran.
Wajahnya juga terlihat lusuh berlumpur. Itu karena mereka sering juga tidur di sekitar lapangan tanpa alas atau alas seadanya berupa lembaran kardus. Mungkin saja setelah bangun tidur mereka belum sempat cuci muka ataukah memang sudah kebiasaan mereka tidak pernah cuci muka di pagi hari.
Dengan wajah memelas sesekali mereka berkata, “Bapak Indo makan… Bapak Indo makan”. Terkadang mereka juga bilang “Abang di the dapuuuur mana nasi…Abang di the dapuuuur mana nasi…bagi buat saya”.
Biasanya ada yang menjawab dengan gurauan” Nasi habis, besok aja”. Anak-anak itu lalu menyangkal. ” Ah, besok..besok, besoook terus. Besok mati. (maksudnya kalau nggak di kasih sekarang mungkin mereka besok akan mati kelaparan).
Dan sekali lagi mereka memanggil – manggil untuk minta makan” Abang baroooot mana makan”. Sering kali hal seperti ini kita jumpai, baik pagi, siang dan sore hari sebelumnya. Begitulah salah satu usaha mereka untuk mencari makan demi bertahan hidup. Mungkin suara anak –anak ini akan menjadi salah satu kerinduan bagi 'bapak-bapak Indo' setelah kembali ke Indonesia.
Tidak lama kemudian ada seseorang 'bapak Indo' (ini nama sebutan anak-anak Kongo untuk anggota Kontingen Garuda) yang berjalan ke atas tanggul menuju anak-anak kawat duri itu. Ia menjinjing sebungkus makanan di tangan kanannya.
Sebelum naik ke atas tanggul, 'bapak Indo' itu menoleh ke kanan-kiri untuk melihat di sekitarnya aman dari pantauan petugas security UN (United Nation). Setelah diperkirakan aman, mulailah 'bapak Indo' itu naik dan menyodorkan bungkus makanan itu ke anak kawat duri.
“Sudah cepat bawa pergi, jangan di makan disini,” seru si bapak Indo ke anak-anak itu.
“Bapak Indo terima kasih, besok lagi..,” ucap anak kawat duri itu sembari tersenyum kegirangan. Perlahan anak-anak itu mulai turun dari tanggul dan lari ke pojok lapangan bola Sudirman di bawah pohon mangga.
Bersamaan dengan anak-anak itu pergi, Bapak Indo yang memberi makan itu juga bergegas turun dari tanggul dan kembali ke dapur. Dia tidak ingin mengambil risiko ketahuan petugas Security UN. Soalnya ada peraturan dari MONUSCO (organisasi pasukan pemelihara perdamaian yang ada di negara Kongo) yang melarang untuk memberi, menukar, atau bahkan menjual makanan apapun kepada anak- anak ataupun warga Kongo lainnya.
Peraturan inilah yang kadang bertentangan dengan rasa kemanusiaan anggota kontingen. Maka dari itu terkadang anggota kontingen harus sembunyi-sembunyi untuk memberikan sesuatu ke anak-anak atau warga setempat.
Itulah selintas pandang kehidupan anak-anak kawat duri. Mereka hanya memikirkan bagaimana harus bertahan hidup untuk hari ini. Mungkin juga tidak terlintas di benak mereka untuk bersekolah.
Tidak seperti halnya anak-anak di Indonesia yang sering kita lihat, hidup dengan penuh kasih sayang orang tua, serba tersedia, dan serba ada apa yang mereka inginkan. Maka bersyukurlah kita dan mungkin anak-anak yang terlahir di Indonesia karena diberi kehidupan yang lebih baik daripada saudara-saudara di negara lain yang berkekurangan. (sebagaimana dikisahkan Perwira Penerangan Konga XX-Monusco, Lettu Inf Imam Mahmud, dari Kongo, Afrika)
Sumber : wartakota
Pagi itu saya pergi ke dapur untuk mengambil air dan sarapan. Sesampainya di dapur saya mulai mengantre untuk mengisi air minum. Disaat mengisi air terdengar suara teriakan anak-anak kecil dari luar tanggul. Seketika pandangan mata saya langsung mengarah ke sumber suara.
Diluar dapur beberapa “Anak Kawat Duri” (sebutan untuk anak-anak Kongole yang sering datang di sekitar camp) sudah berdiri di atas tanggul bagian luar. Tanggul itu dipagari kawat duri yang melingkar mengelilingi camp tempat Pasukan Garuda XX-H.
Tangan anak-anak berpegangan pada duri-duri yang menempel di kawat pagar itu. Pakaian mereka compang-camping, kotor, dekil, dan sepertinya sudah berhari-hari belum pernah dicuci. Ada juga yang memakai pakaian berukuran besar, yang tidak sesuai dengan ukuran tubuhnya hingga kelihatan kedodoran.
Wajahnya juga terlihat lusuh berlumpur. Itu karena mereka sering juga tidur di sekitar lapangan tanpa alas atau alas seadanya berupa lembaran kardus. Mungkin saja setelah bangun tidur mereka belum sempat cuci muka ataukah memang sudah kebiasaan mereka tidak pernah cuci muka di pagi hari.
Dengan wajah memelas sesekali mereka berkata, “Bapak Indo makan… Bapak Indo makan”. Terkadang mereka juga bilang “Abang di the dapuuuur mana nasi…Abang di the dapuuuur mana nasi…bagi buat saya”.
Biasanya ada yang menjawab dengan gurauan” Nasi habis, besok aja”. Anak-anak itu lalu menyangkal. ” Ah, besok..besok, besoook terus. Besok mati. (maksudnya kalau nggak di kasih sekarang mungkin mereka besok akan mati kelaparan).
Dan sekali lagi mereka memanggil – manggil untuk minta makan” Abang baroooot mana makan”. Sering kali hal seperti ini kita jumpai, baik pagi, siang dan sore hari sebelumnya. Begitulah salah satu usaha mereka untuk mencari makan demi bertahan hidup. Mungkin suara anak –anak ini akan menjadi salah satu kerinduan bagi 'bapak-bapak Indo' setelah kembali ke Indonesia.
Tidak lama kemudian ada seseorang 'bapak Indo' (ini nama sebutan anak-anak Kongo untuk anggota Kontingen Garuda) yang berjalan ke atas tanggul menuju anak-anak kawat duri itu. Ia menjinjing sebungkus makanan di tangan kanannya.
Sebelum naik ke atas tanggul, 'bapak Indo' itu menoleh ke kanan-kiri untuk melihat di sekitarnya aman dari pantauan petugas security UN (United Nation). Setelah diperkirakan aman, mulailah 'bapak Indo' itu naik dan menyodorkan bungkus makanan itu ke anak kawat duri.
“Sudah cepat bawa pergi, jangan di makan disini,” seru si bapak Indo ke anak-anak itu.
“Bapak Indo terima kasih, besok lagi..,” ucap anak kawat duri itu sembari tersenyum kegirangan. Perlahan anak-anak itu mulai turun dari tanggul dan lari ke pojok lapangan bola Sudirman di bawah pohon mangga.
Bersamaan dengan anak-anak itu pergi, Bapak Indo yang memberi makan itu juga bergegas turun dari tanggul dan kembali ke dapur. Dia tidak ingin mengambil risiko ketahuan petugas Security UN. Soalnya ada peraturan dari MONUSCO (organisasi pasukan pemelihara perdamaian yang ada di negara Kongo) yang melarang untuk memberi, menukar, atau bahkan menjual makanan apapun kepada anak- anak ataupun warga Kongo lainnya.
Peraturan inilah yang kadang bertentangan dengan rasa kemanusiaan anggota kontingen. Maka dari itu terkadang anggota kontingen harus sembunyi-sembunyi untuk memberikan sesuatu ke anak-anak atau warga setempat.
Itulah selintas pandang kehidupan anak-anak kawat duri. Mereka hanya memikirkan bagaimana harus bertahan hidup untuk hari ini. Mungkin juga tidak terlintas di benak mereka untuk bersekolah.
Tidak seperti halnya anak-anak di Indonesia yang sering kita lihat, hidup dengan penuh kasih sayang orang tua, serba tersedia, dan serba ada apa yang mereka inginkan. Maka bersyukurlah kita dan mungkin anak-anak yang terlahir di Indonesia karena diberi kehidupan yang lebih baik daripada saudara-saudara di negara lain yang berkekurangan. (sebagaimana dikisahkan Perwira Penerangan Konga XX-Monusco, Lettu Inf Imam Mahmud, dari Kongo, Afrika)
Sumber : wartakota
No comments:
Post a Comment