Richard Susilo, seorang wartawan Indonesia yang tinggal di Jepang meluncurkan bukunya yang berjudul 'Yakuza Indonesia'. Buku ini mengupas tentang para Yakuza yang ada di Jepang yang akhirnya menginvasi Indonesia untuk mencari peruntungan.
"Penelitian ini saya lakukan selama 20 tahun," kata Richard saat peluncuran buku di Gramedia Pondok Indah Mall I, Minggu (14/7).
Richard menjelaskan dia sudah langsung bertemu dan mewawancarai dengan para pemimpin Yakuza yang ada di Jepang. Selain itu dia juga telah mewawancarai satuan polisi anti Yakuza di Jepang.
"Yakuza sekarang ini makin tergencet karena itu lari kemana-mana termasuk Indonesia," ujarnya.
Menurut penelitian Richard, kebanyakan Yakuza Jepang di Indonesia melakukan Money Laundring. Mereka juga mendekati diri dengan petinggi-petinggi negara misalkan petinggi militer, polisi, bahkan yang ada di Parlemen.
"Yang mereka cari hanya uang, mereka dengan cara apapun harus mendapatkan uang dari Indonesia," imbuhnya.
Meskipun terkenal kejam dan sadis seantero Jepang. Ada satu kebaikan Yakuza yang tidak terlupakan oleh Richard.
"Waktu Jepang kena Tsunami, para Yakuza mengirim bantuan sekitar 10 truk bahan makanan, obat, dan kebutuhan lainnya.
Salah satu bisnis hitam anggota Yakuza di beberapa negara adalah prostitusi dan penjualan perempuan. Perempuan-perempuan asing yang tertangkap di Jepang biasanya memiliki kasus sama. Mereka diperalat oleh Yakuza dan terpaksa mencari uang di dunia malam sebanyak mungkin untuk menebus paspornya kepada para Yakuza.
Tidak heran ada perempuan Indonesia kelahiran Pontianak, menjadi istri seorang anggota Yakuza di Jepang. Para perempuan asing itu biasanya men-charge tamu sekitar 12.000 Yen atau sekitar Rp 1,4 juta (kurs 116 per yen) sejam, plus minuman keras yang diminum bersama tamu. Bahkan terkadang mereka juga harus menemani tidur tamu-tamunya itu.
Seperti diceritakan Richard Susilo dalam buku berjudul: "Yakuza Indonesia". Richard mengutip tulisan Yukio Murakami yang mewawancarai perempuan asal Pontianak itu, lalu dimuat dalam tabloid Nikkan Gendai, 25 Januari 2012. Menurut dia, kasus semacam itu tak ubahnya kasus perbudakan zaman sekarang. Sindikat kejahatan meraup uang dengan memakai perempuan Thailand dan Filipina.
Mereka dipekerjakan di snack (sunaku kurabu), klub, atau tempat pemandian air panas di daerah-daerah agar jauh dari polisi. Para perempuan itu hanya diberi makanan kotak atau bento dan kosmetik untuk berdandan. Para perempuan budak itu seperti sapi perah, yang bekerja untuk membayar pinjaman kredit karena paspor ditahan. Mereka tidak boleh ke mana-mana dan pasti akan dikuntit dari jauh kalau pergi keluar, sehingga tidak akan mungkin kabur.
"Apabila perempuan itu cantik dan banyak tamunya, maka suatu waktu pasti akan dibuat alasan yang dibuat-buat, misalnya tamu komplain pelayanan tidak bagus, sehingga si perempuan didenda cukup banyak, akibatnya jumlah uang tabungan tidak penuh-penuh dan paspor tidak bisa diterima kembali. Itu menjadi akal bulus para sindikat kejahatan di Jepang."
Banyak sekali kasus semacam itu terjadi di Jepang. Semua itu terjadi karena si perempuan kurang berusaha untuk kabur kalau memang tidak mau dipekerjakan demikian. Atau, mereka memilih pasrah dan lebih memilih uang sehingga melakukan demikian.
"Walau kami bekerja begini, masih lumayan dapat uang lebih banyak bila di-rupiahkan, bisa menabung sedikit dan bisa mengirim uang sedikit kepada keluarga di Indonesia, daripada kerja di Indonesia rasanya susah banget dapat uang," kata perempuan Indonesia asal Pontianak yang bekerja pada sebuah bar, klub malam di Shinjuku.
Tahun 1990 saat ekonomi Jepang menggelembung, rakyat di negeri itu semakin makmur, termasuk para Yakuza. Waktu itu uang seolah berserakan di mana-mana. Hal itu mendorong sedikitnya 200 orang anggota Yakuza (mafia Jepang) datang ke Thailand untuk membuka lapak bisnis gelap. Di sisi lain, perekonomian Thailand juga sedang tumbuh di antara negara-negara ASEAN lainnya.
Sebenarnya sudah sejak 1970-an beberapa anggota Yakuza tinggal di Thailand dan hidup nyaman di sana. Waktu itu mereka melakukan segala semua kejahatan di negeri Gajah Putih itu, mulai melakukan penculikan, narkoba, pemerasan dan pelacuran, termasuk terlibat penjualan perempuan ke Jepang. Tidak hanya di Bangkok, mereka juga beraksi di Chiang Mai dan kota lain.
Seperti ditulis Richard Susilo dalam buku berjudul: "Yakuza Indonesia", para anggota Yakuza semakin besar dari hari ke hari, dan memusingkan polisi Jepang karena mengacak-acak negara lain. Maka pada 1993 pemerintah Jepang membuat seminar tentang cara menghadapi Yakuza yang tinggal di Thailand dengan melibatkan masyarakat umum.
Selain itu, perusahaan besar juga dilibatkan, sedikitnya 140 perusahaan mengirimkan wakilnya ikut dalam seminar tersebut. Pengusaha Jepang diberi petunjuk, pegangan, agar dapat mengantisipasi ancaman Yakuza yang ada di Thailand. Dalam waktu singkat Yakuza tumbuh semakin besar di Thailand. Sebab di negeri itu, penegakan hukum terhadap gengster model Yakuza tidak menjadi prioritas utama.
Apalagi gaji polisi Thailand juga kecil, hanya sekitar USD 200 per bulan. Sehingga mereka banyak mengurusi diri sendiri daripada orang lain. Banyak anggota polisi menggantungkan hidupnya dari uang hasil korupsi, uang suap dan memeras rumah bordil. Sementara polisi berpangkat tinggi terlibat kejahatan lebih dahsyat lagi.
Mereka terlibat perjudian dengan taruhan besar, perdagangan narkoba dan perdagangan manusia. Belum lagi ada lusinan perwira tinggi polisi Thailand terlibat kasus pencurian, salah satunya pencurian permata kerajaan Arab Saudi senilai USD 20 juta pada 1989. Bahkan tujuh polisi di negeri itu terlibat pembunuhan pada tujuh wisatawan Asia pada 1990, termasuk seorang eksekutif Jepang.
Ada sebuah guyonan di kalangan orang Thailand. "Rakyat Thailand tidak peduli dengan Yakuza karena jumlahnya tidak banyak. Yang lebih dipedulikan justru bagaimana menghadapi mafia lebih besar lagi yaitu polisi Bangkok."
Pada 1998, ekonom dari Universitas Chulalongkorn, perguruan tinggi terkemuka di Thailand, membuat kajian tentang Yakuza. Hasilnya, di negeri itu ada enam aktivitas ilegal yang dilakukan oleh Yakuza, sehingga mereka dapat menghasilkan pendapatan antara USD 8-13 miliar per tahun. Jumlah itu hampir setara dengan Produk Domestik Kotor (GDP) Thailand saat itu.
Semakin lama kondisi perekonomian anggota Yakuza di Thailand juga semakin subur. Mereka membuka perusahaan klub malam, karaoke, toko perhiasan, perusahaan ekspor impor, biro perjalanan yang dipakai untuk transaksi penyelundupan senjata api dan narkoba.
Bahkan, seorang pengusaha anggota Yakuza di Perfektur Saitama, dekat Tokyo, mengelola perusahaan konstruksi di Thailand dan mengekspor traktor kepada orang China. Dia menerima bayaran dalam bentuk senjata api, emas batangan, perhiasan dan jam tangan. Sementara Yakuza lainya bergerak dibisnis mobil curian yang dikirim ke Thailand.
Pada 1994-1995, polisi Jepang berhasil menemukan sedikitnya 130 kendaraan curian diekspor ke Thailand dengan nilai sekitar USD 5 juta yang dilakukan sebuah kelompok Yakuza di Tokyo. Selain itu, Yakuza ini juga melakukan bisnis haram lainya, yakni jual beli spesies binatang langka. Misalnya penemuan 110 ekor kukang (lemur) yang bisa dijual USD 2 ribu per ekor.
Demikian pula perdagangan senjata api di dalam 7 boks berisi 70 ekor berbisa, termasuk 15 kobra dan 30 ekor ular tanah. Intinya, Yakuza telah menguasai perekonomian Thailand secara ilegal dan gelap. Jaringan bisnis hitam mereka di mana-mana, dan telah mampu menguasai para pejabat dan penegak hukum di sana.
Segala hal yang terjadi di Thailand itu merupakan satu pola dan karakter kerja Yakuza di negara yang "gulanya sangat manis" dan pasti akan terjadi di negeri lain juga, tak terkecuali Indonesia. Mereka bakal mendekati aparat penegak hukum, menyuap dengan cara halus karena mereka sangat pintar. Menyuap dengan uang miliaran, membelikan mansion mewah, mobil BMW atau Mercedes Benz, dan fasilitas "wah" lain.
Sehingga aparat penegak hukum itu lupa dengan segala ancaman dan dampak buruk keberadaan para Yakuza itu. Oleh sebab itu, ada baiknya orang Indonesia lebih hati-hati lagi. Anda tentu tidak ingin melihat Indonesia mirip dengan Thailand bukan?
Ini beberapa cara yang bisa Anda lakukan untuk mengidentifikasi Yakuza di Indonesia?
1. Perusahaan kecil dan belum memiliki nama, kok bisa mendadak melakukan investasi besar di Indonesia, siapa anda?
2. Cari di Internet, Yahoo atau Google perusahaan tersebut. Kalau perusahaan Jepang yang benar dan baik umumnya tertulis kapan didirikan, siapa CEO-nya, modal kerja, kegiatan bisnis apa, rekanan bisnis trading ke siapa saja. Kalau tidak ada penjelasan itu, perusahaan pantas dipertanyakan.
3. Perusahaan biasanya baru berdiri sekitar tahun 2000 atau lebih baru lagi, misalnya 2010.
4. Transfer finansial, pemindahan uang dilakukan tunai antar negara, dibawa sendiri tunai dari Jepang ke Indonesia dan sebaliknya. Hal ini untuk menghindari penjejakan kantor pajak dan otoritas finansial kedua negara.
5. Penampilan biasa, salaryman, berjas berdasi, pakaian rapi, seperti pengusaha biasa, sulit dideteksi hanya dari penampilan.
6. Kalaupun menggunakan kartu nama, diupayakan sederhana, tidak mentereng, tidak menarik perhatian.
7. Sesama Yakuza biasanya akan menggunakan kode atau bahasa khusus yang biasa dipakai kalangan Yakuza (Bahasa Jepang kalangan preman).
Mulai tahun ini diramalkan bakal banyak anggota Yakuza keluar dari Jepang. Demikian laporan majalah mingguan Asahi Geino, 17 Januari 2013. Sementara penjahat asing juga semakin berani beraksi di Jepang. Nama Indonesia memang tidak disebut langsung, tapi beberapa hari terakhir banyak heroin di Jepang datang dari Malaysia, tetangga Indonesia.
Berikutnya obat-obat perangsang dari Afrika. Di sisi lain, mafia-mafia asing dari Vietnam dan Pakistan mulai terorganisir di Jepang menjadi kelompok perampok dan maling di rumah-rumah warga. Mereka mencuri perhiasan dan berlian dari daerah Tohoku, lalu mengekspor hasil kejahatannya ke luar Jepang.
Catatan itu ditulis kembali oleh Richard Susilo dalam bukunya berjudul: "Yakuza Indonesia". Menurut dia, mencari uang di Jepang kini kian sulit bagi para Yakuza. Oleh sebab itu sekarang banyak di antara mereka yang melakukan ekspansi bisnis hitam ke luar negeri. Alasannya, di luar Jepang bisnis gelap mereka lebih menguntungkan.
Bagi para Yakuza, beraksi di luar Jepang lebih bebas dan aman dari pada beraksi di dalam negeri. Sebab kini di pemerintah Jepang telah menerapkan undang-undang baru anti-Yakuza. Polisi, terus memelototi aktivitas mereka, sehingga tidak lagi bebas. Bila tak hati-hati mereka bakal ditangkap dengan ancaman penjara cukup lama.
Karena terus diburu polisi, belakangan para Yakuza membentuk markas di luar Jepang, dan mereka berhasil. Biasanya, mereka memiliki kekuatan finansial besar, dan memiliki koneksi baik dengan komunitas lokal, pejabat, polisi atau preman setempat. Apalagi rata-rata mereka juga sangat pintar dan berpengalaman.
Seorang anggota kepolisian Jepang membenarkan kabar itu. Bahkan dia menyebut bahwa Indonesia kini sudah menjadi sasaran para Yakuza yang telah memiliki jaringan atau kelompok sendiri, khususnya di kalangan orang Jepang yang sudah lebih dulu tinggal di Indonesia, dan berhasil membaur sehingga identitasnya tidak lagi ketahuan.
"Mereka ada di luar Jepang. Bila pintar tentu mereka akan kuat di sana, dan di Jepang mereka juga tetap memiliki shinoji (pendanaan) yang baik pula. Tetapi, bagi Yakuza yang tidak pintar biasanya akan tertahan di luar negeri, karena biasanya dia juga tidak punya uang."
Bagi yang berhasil dan memiliki uang, sebagai anggota Yakuza memiliki solidaritas tinggi kepada markasnya di Jepang dan biasanya akan memasok sebagian uangnya ke Jepang atau dengan cara dipanggil pulang oleh bosnya. Mereka juga akan mati-matian mempertahankan statusnya sebagai Yakuza di luar negeri secara diam-diam.
Seorang anggota Yakuza sempat menuturkan, bagi para Yakuza yang tidak pintar berstrategi di luar negeri, biasanya akan terlibat bentrok dengan preman lokal setempat. Contohnya di Bali. Seorang polisi setempat sempat membenarkannya. Suatu waktu para Yakuza sempat bentrok dengan preman Bali, sehingga polisi menjadi kesal dan meminta para Yakuza kembali ke Jepang daripada ribut di Bali.
Mungkin ada yang bertanya-tanya, di mana sebenarnya Yakuza di Indonesia ini? Yang jelas, kata Richard, anggota Yakuza Jepang tidak akan mungkin ada di Pelabuhan Tanjung Priok, di Pasar, atau di tempat-tempat kumuh, tidak pula berada di tempat-tempat buruh, pekerja kasar, menjadi kuli bangunan atau semacamnya.
Di Indonesia Yakuza sangat ekslusif. Mereka punya banyak uang, pintar, memiliki pengalaman banyak di Jepang, dan memiliki kesabaran tinggi, maupun hal-hal lain yang tidak dimiliki oleh orang-orang Indonesia. Yakuza di Indonesia akan susah dideteksi oleh orang awam yang tidak mengerti bahasa Jepang.
Mereka memiliki kedekatan dengan para pebisnis di Indonesia, punya jaringan baik dengan orang kaya, dan berteman akrab dengan aparat. Intinya, mereka adalah penyamun, yang sulit dideteksi. Namun demikian, selama anda tidak mengganggu mereka, Yakuza juga diam. Yang pasti, Yakuza itu ada.
(sumber : www.merdeka.com)
No comments:
Post a Comment