Sunday, 4 August 2013

PETA dan para lulusannya yang pernah meduduki jabatan penting

Logo PETA kombinasi antara
Pembentukan PETA dianggap berawal dari surat Raden Gatot Mangkoepradja kepada Gunseikan (kepala pemerintahan militer Jepang) pada bulan September 1943 yang antara lain berisi permohonan agar bangsa Indonesia diperkenankan membantu pemerintahan Jepang di medan perang. Pada pembentukannya, banyak anggota Seinen Dojo (Barisan Pemuda) yang kemudian menjadi anggota senior dalam barisan PETA. Ada pendapat bahwa hal ini merupakan strategi Jepang untuk membangkitkan semangat patriotisme dengan memberi kesan bahwa usul pembentukan PETA berasal dari kalangan pemimpin Indonesia sendiri. Pendapat ini ada benarnya, karena, sebagaimana berita yang dimuat pada koran "Asia Raya" pada tanggal 13 September 1943, yakni adanya usulan sepuluh ulama: K.H. Mas Mansyur, KH. Adnan, Dr. Abdul Karim Amrullah (HAMKA), Guru H. Mansur, Guru H. Cholid. K.H. Abdul Madjid, Guru H. Jacob, K.H. Djunaedi, U. Mochtar dan H. Mohammad Sadri, yang menuntut agar segera dibentuk tentara sukarela bukan wajib militer yang akan mempertahankan Pulau Jawa [1]. Hal ini menunjukkan adanya peran golongan agama dalam rangka pembentukan milisi ini. Tujuan pengusulan oleh golongan agama ini dianggap untuk menanamkan paham kebangsaan dan cinta tanah air yang berdasarkan ajaran agama. Hal ini kemudian juga diperlihatkan dalam panji atau bendera tentara PETA yang berupa matahari terbit (lambang kekaisaran Jepang) dan lambang bulan sabit dan bintang (simbol kepercayaan Islam).
Peran PETA dalam Memperjuangkan Negara Indonesia

Perhatian dan minat dari para pemuda Indonesia ternyata sangat besar, terutama para pemuda yang telah mendapatkan pendidikan di sekolah menengah dan yang telah bergabung dengan Seinendan. Di dalam PETA terdapat Lima macam tingkat kepangkatan, yaitu
1.      Daidanco (komandan batalyon), dipilih dari tokoh-tokoh masyarakat seperti pegawai pemerintah, pemimpin agama, pamongraja, politikus, dan penegak hukum
2.      Cudanco (komandan kompi), dipilih dari kalangan yang sudah memiliki pekerjaan namun masih belum mencapai pangkat yang tinggi, seperti guru dan juru tulis.
3.      Shodanco (komandan peleton), dipilih dari kalangan pelajar sekolah lanjutan pertama atau sekolah lanjutan atas.
4.      Budanco (komandan regu), dipilih dari kalangan pemuda yang pernah bersekolah dasar
5.      Giyuhei (prajurit sukarela) dari kalangan pemuda yang belum pernah mengenyam pendidikan.

Para pemuda yang menjadi anggota PETA dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu: (1) mereka yang menjadi anggota PETA dengan semangat yang tinggi. (2) mereka yang menjadi anggota PETA yang dipengaruhi oleh orang lain. (3) mereka yang menjadi anggota PETA dengan perasaan acuh tak acuh. Para anggota PETA mendapat pendidikan militer di Bogor pada lembaga Jawa Boei Giguyun Kanbu Renseitai (Korps Latihan Pemimpin Tentara Sukarela Pembela Tanah Air di Jawa). Nama pendidikan itu kemudian berubah menjadi Jawa Boei Giguyun Kanbu Kyoikutai (Korps Pendidikan Pemimpin Tentara Sukarela Pembela Tanah Air di Jawa). Setelah mendapat pendidikan itu kemudian para tentara PETA ditempatkan pada daidan-daidan yang tersebar di Jawa, Madura, dan Bali.
Sumbangsih dan peranan tentara PETA dalam masa Perang Kemerdekaan Indonesia sangatlah besar. Demikian juga peranan mantan Tentara PETA dalam kemerdekaan Indonesia. Beberapa tokoh yang dulunya tergabung dalam PETA antara lain mantan presiden Soeharto dan Jendral Besar Soedirman. Mantan Tentara PETA menjadi bagian penting pembentukan Tentara Nasional Indonesia (TNI), mulai dari Badan Keamanan Rakyat (BKR), Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Tentara Keselamatan Rakyat, Tentara Republik Indonesia (TRI) hingga TNI. Untuk mengenang perjuangan Tentara PETA, pada tanggal 18 Desember 1995 diresmikan monumen PETA yang letaknya di Bogor, bekas markas besar PETA.
Dalam perkembangannya, beberapa anggota PETA mulai kecewa terhadap Balatentara Jepang, hal ini dikarenakan pemerintah Jepang yang semula memberikan janji masa depan yang cerah bagi rakyat Indonesia, namun pada kenyataannya justru membuat rakyat Indonesia semakin sengsara. Sehingga timbullah pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan oleh para anggota PETA.
Pemberontakan-pemberontakan tersebut paling besar terjadi di Blitar Jawa Timur. Pada tanggal 14 Februari 1945 terjadi perlawanan oleh PETA di bawah pimpinan Supriyadi (putra Bupati Blitar) dan kawan-kawannya yang terjadi dalam Daidan Surakmad. Motif utama dalam perlawanan ini adalah kemarahan dan ketidakpuasan tentara Peta terhadap pemerintah pendudukan Jepang. Mereka melihat kenyataan dalam kehidupan masyarakat terdapat adanya penderitaan rakyat di mana-mana, terutama disekitar tempat tugas mereka. Dalam memimpin perlawanan ini Supriyadi dibantu oleh Dr. Ismail, Mudari, dan Suwondo.
Pada tanggal 29 Februari 1945 dinihari mulailah Supriyadi dengan teman-temannya para anggota PETA bergerak. Mereka melepaskan tembakan mortar, senapan mesin, dan granat dari daidan, lalu bergerak ke luar dengan senjata lengkap. Setelah pihak Jepang mengetahui tentang gerakan pemberontakan itu, maka dengan cepat didatangkan pasukan-pasukan Jepang. Pasukan ini juga dipersenjatai tank, dan pesawat udara. Mereka terus menduduki Kota Blitar, yang pada waktu itu telah menjadi sunyi-senyap, karena lalu lintas biasa terhenti dan rakyat bersembunyi atau menyingkir. Rumah Daidanco dan Cudanco semuanya dijaga oleh Jepang: Daidan pun telah didudukinya. Daidanco sebenarnya sudah jadi tawanan Jepang, dan dari Daidanco tawanan ini ke luar perintah –perintah yang ditunjukkan kepada anggota-anggota yang belum terkumpul kembali, termasuk Cudanco Suyatmo, untuk melaporkan diri.
       Pada perlawanan ini, orang-orang Jepang yang ada di Blitar dibunuh, perlawanan ini benar-benar mengejutkan bagi Jepang terlebih lagi pada saat itu Jepang terus-menerus mengalami kekalahan dalam Perang Asia Timur Raya. Kemudian Jepang mengepung kedudukan Supriyadi dan kawan-kawannya, namun pasukan Supriyadi tatap melakukan perlawanan dan menjalankan aksinya, maka terjadilah pertempuran. Tembak-tembakan senjata berat terjadi antara tentara-tentara Jepang dengan para tentara PETA, dengan terjadinya keadaan seperti ini membingungkan Jepang dan membuatnya terjepit.
Menghadapai kegigihan tekad pihak pemberontak tersebut, maka Komandan pasukan Jepang Kolonel Katagiri menjalankan cara yang lembut untuk menundukkan Supriyadi beserta kawan-kawannya dari PETA, tapi pada sesungguhnya cara yang dilakukan oleh pasukan Jepang tersebut merupakan suatu tipu muslihat dengan menyerukan agar para pemuda-pemuda Blitar yang mengadakan perlawanan tersebut untuk menyerah saja dan kemudian akan dijamin keselamatannya serta akan dipenuhi permintaannya oleh pemerintah Jepang.
          Tipuan Jepang tersebut ternyata berhasil dan akibatnya banyak anggota PETA yang menyerah. Pasukan PETA yang menyerah tersebut tidak luput dari hukuman Jepang dan beberapa orang diantaranya dijatuhi hukuman mati, ada pula yang meninggal karena siksaan dari tentara-tentara Jepang. Adapaun nasib Supriyadi dalam perlawanan itu belum diketahui secara jelas dan pasti, ada kemungkinan beliau tertangkap dan disiksa sampai menemui ajalnya. Peristiwa ini sangat dirahasiakan oleh pemerintah Jepang sehingga tidak tercium oleh pihak luar.

Ada pun Perwira-perwira lulusan Pendidikan Perwira PETA Bogor pernah menduduki jabatan penting di Pemerintahan antara lain :

    Jendral Besar Sudirman (Panglima APRI),
    Jendral besar Soeharto (Mantan Presiden RI ke-2),
    Jenderal Anumerta Ahmad Yani (Mantan Menteri/Panlima Angkatan Darat),
    Soepriyadi (Mantan Menhankam Kabinaet I in absentia),
    Jendral Basuki Rahmat (Mantan Mendagri),
    Bambang Soepeno (Mantan Kepala Staf Angkatan Darat),
    Letnan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo (Mantan Komandan Kopassus),
    Jendral Umar Wirahadi Kusumah (Mantan Wapres RI),
    Jendral Soemitro (Mantan Pangkopkamtib),
    Jendral Poniman (Mantan Menhankam),
    Letjend. Kemal Idris,
    Letjend. Suparjo Rustam,
    Letjend. GPH Djatikoesoemo (Mantan KASAD, sesepuh Zeni, pejuang kemerdekaan, putra ke-23 dari Susuhunan Pakubuwono X Surakarta, dll),
    Jendral Try Soetrisno (mantan Wapres RI, merupakan lulusan setelah era PETA).

(sumber : wikipedia.org)

No comments:

Post a Comment