Sunday 21 July 2013

Tan Malaka Kepercayaan Soekarno Untuk Meneruskan Revolusi

Pengusiran, pembuangan, penangkapan, dan pemenjaraan mewarnai kehidupan Tan Malaka sebagai konsekuensi atas perjuangan untuk kemerdekaan. “Siapa ingin merdeka harus bersedia di penjara,” tulis Tan Malaka. Dan, itu semua justru kian mengentalkan legenda atas dirinya.

Setelah 20 tahun mengembara dari negeri satu ke negeri lain, Tan Malaka pulang dan terus berjuang yang berakhir tragis di ujung bedil bangsa sendiri. Dan, lebih tragis lagi, namanya dipinggirkan oleh sejarah Orde Baru walau ia ditetapkan sebagai pahlawan kemerdekaan nasional berdasarkan keputusan Presiden RI No. 53, yang ditandatangani Presiden Soekarno 28 Maret 1963.

Pria bernama lengkap Sutan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka itu lahir di Desa Pandam Gadang, Suliki, Sumatra Barat, 2 Juni 1897. Beruntung ia terlahir dari keluarga Minangkabau yang terpandang, sehingga pada usia 12 tahun ia berkesempatan mengecap sekolah pendidikan guru, yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda di Bukittinggi, Sumatera Barat. Lulus pada 1913, atas rekomendasi gurunya G.H. Horensma, dan berkat pinjaman dana dari para engku di Suliki Rp 50 per bulan, ia melanjutkan studi ke negeri Belanda untuk sekolah di Rijkskweekschool (Sekolah Pendidikan Guru Pemerintah) di Haarlem. “Hutang ini akan saya bayar kembali kelak setelah pulang ke Indonesia,” tulisnya.

Di negeri Kincir Angin itu, Tan berkenalan dengan teori revolusioner, sosialisme dan marxisme-komunisme melalui buku dan brosur. Bahkan ia sempat diminta Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) mewakili Indische Vereenging pada kongres pemuda Indonesia dan pelajar Indologie di Kota Deventer. Melalui interaksi dengan mahasiswa Indonesia dan Belanda, ia semakin yakin bahwa melalui jalan revolusi, Indonesia harus bebas dari penjajahan Belanda. Keyakinan yang dipegang secara konsisten. Itulah masa awal dalam pengembangan politiknya.

Selama belajar di Belanda, Ipie—panggilan Tan di sana—kerap sakit akibat makanan dan iklim Belanda yang tak cocok, serta menderita pleuritus.

Pada November 1919, setelah kecamuk Perang Dunia I usai, pemuda cerdas itu pulang ke Tanah Air, dengan napas lega. Ia merasa terbebas dari dunia di sekitar meletus dan selesainya Perang Dunia I serta selesainya revolusi sosial Rusia.

Tan kemudian mengajar anak-anak kuli kontrak di perkebunan tembakau milik orang Jerman dan Swiss di Deli, dekat Medan, Sumatera Utara. Di lingkungan perkebunan itu semangat radikalnya tumbuh ketika ia menyaksikan ketimpangan sosial antara kaum buruh dan tuan tanah.

“Kekayaan bumi iklimnya Deli menjadi alat adanya satu golongan kaum modal penjajah yang paling kaya, paling sombong ceroboh dan paling kolot pada satu kutup. Di kutup yang lain berada satu golongan bangsa dan pekerja Indonesia yang paling terhisap, tertindas dan terhina: kuli kontrak,” tulis Tan Malaka dalam otobiografinya, Dari Penjara ke Penjara.

Pada masa itu, ia sudah mulai terlibat dalam politik, dengan menjadi anggota Indies Social Democratic Association (ISDV), yang kemudian menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Di surat kabar terbitan ISDV, Tan mempublikasikan artikel pertamanya.

Ia pun kerap terlibat konflik dengan manajemen perkebunan orang Eropa atas isi pelajarannya kepada siswa. Konflik juga dipicu oleh artikel politik liberal yang dia tulis di koran lokal, serta kegiatannya sebagai aktivis serikat buruh, terutama pada pemogokan buruh kereta api pada 1920.

Pada akhir Februari 1920, ia pergi ke Jawa dan dimulailah babak baru kehidupan dengan terjun ke gelanggang politik. Awalnya di Yogyakarta tapi kemudian segera berpindah ke Semarang, kota yang disebut Tan sebagai “Kota Merah”, untuk mendirikan sekolah rakyat bagi anak-anak Sarekat Islam (SI), sebuah organisasi yang didirikan Semaun. Ruang rapat Sarekat Islam Semarang diubah menjadi sekolah. “Dalam satu dua hari saja saya sudah bisa mulai dengan kurang lebih 50 orang murid,” tulis Tan Malaka.

Sekolah itu kemudian berkembang sangat cepat, yang dijadikan model sekolah lain di sejumlah kota di Jawa. Melalui sekolah itu, Tan menciptakan kader-kader baru.

Di luar pendidikan, Tan Malaka dengan cepat terjun dalam kerja politik: ambil peran kepemimpinan dalam sejumlah serikat buruh dan menulis artikel di sejumlah penerbitan PKI. Kepemimpinannya pun meroket tatkala pada kongres PKI 24-25 Desember 1921, ia terpilih sebagai Ketua PKI, menggantikan Semaun.

Salah satu ciri kepemimpinan Tan kala itu adalah mendukung persatuan PKI dan Sarekat Islam untuk menghadapi penjajahan. Ia merupakan pendukung perjuangan menentang perpecahan dengan Sarekat Islam. Sebab, bagi Tan, antara komunisme dan Islam saling melengkapi, dan di Indonesia, revolusi semestinya dibangun di atas keduanya. Pada skala internasional, Tan Malaka juga memandang Islam sebagai pegangan yang potensial untuk menyatukan kelas pekerja di beberapa negara di Afrika Utara, Timur Tengah, Asia Selatan melawan imperalisme dan kapitalisme. Posisi ini menempatkan dia berlawanan dengan Komunis Eropa dan pemimpin Komintern.

Karena peran Tan Malaka dalam PKI dipandang oleh pemerintah kolonial sebagai kegiatan subversif, ia ditangkap Belanda di Bandung pada Februari 1922. Lalu pada 24 Maret tahun itu ia diusir dari Indonesia. Itulah awal pengembaraan panjang dari negeri yang satu ke negeri lain selama hampir 20 tahun.

Ia pergi ke Belanda dan hampir menjadi anggota Parlemen Belanda, lalu ke Jerman, pindah ke Moskwa. Di negeri beruang merah itu, Tan terlibat secara mendalam dengan politik di Komunis Internasional (Komintern). Ia beralasan bahwa partai komunis Eropa seharusnya mendukung perjuangan kaum nasionalis di Asia. Pada pertemuan Komite Eksekutif Komintern Juni 1923, ia terpilih sebagai wakil Komintern untuk Asia Tenggara. Tugasnya antara lain memberikan usul dan kritik bahkan veto atas aksi-aksi yang dilakukan partai komunis di daerah kerjanya.

Dengan penugasan dari Komintern, ia pindah ke Canton, Cina, Desember 1923, menjadi Kepala Biro Serikat Sekerja Timur Merah. Di sana ia bertemu dengan komunis dari Cina dan Indonesia serta tokoh politik nasionalis Sun Yat-sen. Pekerjaan Tan Malaka termasuk menerbitkan sebuah majalah berbahasa Inggris. Sempat ke Tokyo sambil menulis buku Menuju Republik Indonesia.

Tanpa paspor, Tan Malaka memasuki Filipina. Ia tiba di Manila pada 20 Juli 1925, dengan kapal Empress of Russia, dan menyamar sebagai Elias Fuentes, seorang muskius yang bekerja di kapal. Ia berusaha memulihkan kesehatannya di rumah keluarga “Nona Carmen” di Santa Mesa, dekat Manila. Beberapa bulan ia menginap di rumah Apolinario G. De los Santos, Rektor Universitas Manila. Di sana, ia menulis secara teratur di harian El Debate.

Sementara itu, di Tanah Air terjadi pemberontakan 1926, yang digerakkan PKI. Namun, pemberontakan itu gagal dan dapat mudah dipadamkan oleh kolonial Belanda dalam waktu singkat. Akibatnya, ribuan pejuang politik ditangkap dan ditahan. Ada yang disiksa, ada yang dibunuh dan banyak yang dibuang ke Boven Digoel, Papua.

Tan Malaka mengkritik peristiwa itu sebagai pemberontakan prematur, adventuristik, dan tindakan bunuh diri. Sebelum pemberontakan itu pecah, Tan Malaka sudah mengingatkan para pemimpin komunis di Tanah Air.

Sementara polisi kolonial terus memburu para tokoh komunis, Desember 1926, Tan Malaka pergi ke Bangkok, Thailand, dan bertemu dengan anggota PKI Subakat dan Djamaluddin Tamim. Mereka mendirikan Partai Republik Indonesia (PARI). Dengan menyamar sebagai Haji Ibrahim, Tan Malaka berdiam di Chieng-Mai.

Tan kembali ke Manila pada Agustus 1927, tapi segera ditangkap oleh polisi Amerika atas permintaan Belanda. Subakat ditangkap di Bangkok, 1929, dan meninggal di penjara 1930. Adapun Tamim ditangkap di Singapura, 1932.

Tan dideportasi, lalu ia meninggalkan Filipina dengan kapal. Ia memperkirakan akan ditangkap kembali oleh Belanda sesaat mendarat di Cina. Karena itu, dengan bantuan awak kapal orang Filipina, ia melarikan diri ketika kapal menambatkan jangkar di Pelabuhan Amoy (Xianmen). Tan bersembunyi di sebuah desa terdekat, Sionching, sekitar dua tahun.

Ia pindah ke Shanghai pada sekitar 1929. Dua tahun kemudian ia mulai bekerja lagi untuk Komintern. Ketika Jepang menduduki Shanghai pada September 1932, Tan Malaka melarikan diri ke Hong Kong, dengan penyamaran sebagai seorang Cina-Filipina dan menggunakan nama samaran. Tapi, ia ditangkap oleh pihak berwenang Inggris dan dipenjara selama beberapa bulan sebelum akhirnya diusir dari Hong Kong.

Setelah mempertimbangkan beberapa pilihan untuk tempat pengasingan, Tan Malaka memilih kembali ke Amoy. Ia sempat berhubungan kembali dengan teman lama di Desa Iwe, tanpa penangkapan. Tapi, di sana, jatuh sakit beberapa tahun sebelum seorang dokter Cina memulihkan kesehatannya.

Pada 1936, ia kembali ke Amoy, dan ia mengajar bahasa Inggris, Jerman, dan teori Marxist; sampai 1937 sekolah itu menjadi sekolah bahasa terbesar di Amoy.

Pada Agustus 1937 ia pergi ke Rangoon, Birma, lewat Singapura selama satu bulan. Tapi, karena tabungannya terkuras, ia kembali ke Singapura melalui Penang, dan bekerja sebagai guru. Tatkala Jepang menduduki jazirah Melayu dan Indonesia pada 1942, Tan Malaka memutuskan pulang ke Tanah Air yang telah ia tinggalkan hampir dua puluh tahun.

Tan Malaka mulai dengan sebuah perjalanan panjang beberapa bulan, tinggal beberapa waktu di Penang sebelum menyeberang ke Sumatra kemudian mengunjungi Medan, Padang, dan beberapa kota lain di Sumatera sebelum tinggal di pinggiran Jakarta yang diduduki Belanda pada Juli 1942. Sebagian besar waktunya di sana dihabiskan dengan menulis dan riset di perpustakaan Jakarta, menulis buku Madilog dan ASLIA (Asia-Australia).

Lagi-lagi tabungannya dari gaji mengajar di Singapura nyaris terkuras. Dengan menggunakan nama palsu, ia bekerja sebagai administrator di pertambangan batu bara di Bayah, Jawa Barat.

Jepang menyerah dan Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan. Tan Malaka meninggalkan Bayah, dan mulai lagi menggunakan nama aslinya untuk pertama kali dalam dua puluh tahun terakhir. Ia mengadakan perjalanan pertama ke Jakarta, kemudian dilanjutkan ke sekitar Jawa.

Solo, pertengahan Januari 1946. Tan Malaka bersama sekitar 140 organisasi nasionalis dan buruh membentuk Persatuan Perjuangan (PP), dengan tujuan mempertahankan kemerdekaan dari penjajahan Belanda. Koalisi ini mendapat dukungan luas dari rakyat dan tentara Republik, termasuk dukungan dari Jenderal Sudirman. Programnya antara lain kemerdekaan 100 persen, pemerintahan rakyat, tentara rakyat.

Oleh Perdana Menteri Syahrir, PP dituduh mencoba mengadakan kudeta. Tan Malaka dan beberapa pimpinan PP ditangkap, Maret 1946. Ia penjara sampai September 1948 tanpa pernah diadili. Setelah bebas, ia membentuk Partai Murba di Yogyakarta, 7 November 1948.

Ketika Belanda menangkap para pemimpin pemerintahan pada Desember 1948, Tan melarikan diri ke pedesaan di Jawa Timur. Ia mendirikan markasnya di Blimbing, sebuah desa yang dikelilingi persawahan. Ia berhubungan dengan Mayor Sabarudin, komandan Batalion 38. Akibat konflik dengan kelompok tentara yang lain, Sabarudin dan anak buahnya ditangkap pimpinnan TNI Jawa Timur dan didakwa berdasarkan undang-undang militer. Tan Malaka juga ditangkap di Blimbing, 19 Februari 1949.

Korps Speciale Troepen (KST) Belanda melancarkan operasi dari Nganjuk, Jawa Timur, dengan cepat dan brutal. Sejarawan Belanda Poeze (2007) menggambarkan dengan detail bagaimana pasukan TNI melarikan diri memasuki pegunungan dan bagaimana Tan Malaka, yang sudah terluka, berjalan menuju sebuah pos TNI dan secara diam-diam dieksekusi pada 21 Februari 1949 di Dusun Selopanggung, Desa Tanggul, sekitar 20 kilometer ke barat Kediri. Letnan Dua Sukotjo dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya, menjadi aktor di balik penembakan itu. Tan Malaka dikuburkan di dalam hutan. Revolusi telah memakan anaknya sendiri.

Namun, menurut pemberitaan Time edisi 4 Juli 1949, Tan Malaka dieksekusi 9 April, dekat Blitar. Republiken, tulis Time–juga melaporkan bahwa mereka telah mengeksekusi mantan perdana menteri Amir Sjarifoeddin, R.M. Suripino, dan seorang mantan diplomat dan sekretaris PKI Hadjono.

Sebagai seorang ideolog, Tan Malaka menuangkan buah pikirannya ke dalam sejumlah buku, antara lain yang terkenal Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika); Menuju Republik Indonesia (pertama kali terbit di Kowloon, Hong Kong, April 1925), Dari Penjara ke Penjara (otobiografi), dan Gerpolek.

Tan Malaka telah menjadi tokoh legenda. Bahkan pada September 1945, Sukarno pernah menulis sebuah wasiat kepada Tan Malaka untuk melanjutkan memimpin revolusi jika ia dan Hatta tidak mampu.

Nama Tan Malaka muncul sebagai tokoh utama dalam beberapa karya fiksi yang terbit di Medan, dengan julukan Patjar Merah Indonesia. Salah satu yang terkenal adalah roman Spionnage-Dienst (Patjar Merah Indonesia). Roman karya Matu Mona itu mengisahkan petualangan Patjar Merah, seorang aktivis politik yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari kolonialisme Belanda. Karena kegiatannya itu, ia harus melarikan diri dari Indonesia dan menjadi buruan polisi rahasia internasional.

(sumber : www.wikipedia.org)

No comments:

Post a Comment