Tuesday 16 July 2013

Soe Hok Gie Idealis Sejati Penentang Dua Rezim


Seorang pejuang pemberani, bisa datang dari kalangan mana saja dan bisa menunjukan semangat perjuangannya melalui bidang yang dia tekuni. Pada tahun 60-an ada sosok aktivis mahasiswa yang sangat kritis sekaligus idealis, bernama Soe Hok Gie. Bahkan sampai detik ini, mungkin belum ada aktivis mahasiswa atau mantan aktivis mahasiswa yang bisa menyamai idealisme Soe Hok Gie.
Era 1960-an adalah masa-masa suram politik dan ekonomi Indonesia. Presiden Soekarno memberangus lawan-lawan politiknya dan memberedel surat kabar.

Harga makanan dan bahan-bahan pokok terus melambung membuat kehidupan serba sulit. Soekarno sepertinya mulai terlena dengan kekuasaannya.

Kondisi setelah peristiwa 30 September 1965 kian memburuk. Masyarakat marah karena Presiden Soekarno hanya sibuk mengadakan pesta dan menikah lagi. Tuntutan mereka agar Soekarno membubarkan Partai Komunis Indonesia, tak dituruti. 

Soekarno kemudian membentuk Kabinet Dwikora II tanggal 24 Februari 1966. Kabinet yang berisi 100 menteri itu dianggap gagal memenuhi harapan rakyat soal pembangunan dan kesejahteraan.

Maka gelombang protes mulai muncul. Para aktivis adalah Mahasiswa Universitas Indonesia (UI). Dengan jaket kuningnya mereka turun ke jalan memprotes Soekarno.

Para mahasiswa tanpa takut mendatangi kantor-kantor menteri yang dianggap koruptor. Mereka pun mengenakan kimono dan berdemo menyindir Soekarno yang mengawini Naoko Nemoto alias Ratna Sari Dewi. Salah satu mahasiswa itu adalah Soe Hok Gie. Aktivis Senat Fakultas Sastra UI.

Hari-hari bergolak menjelang jatuhnya Soekarno dia tuliskan dalam buku hariannya yang kelak dibukukan dan diberi judul 'Catatan Seorang Demonstran'. Saat itu mahasiswa UI mendapat dukungan dari Kolonel Sarwo Edhie Wibowo dan pasukan Resimen Para komando Angkatan Darat.

Tentara baret merah yang menyamar inilah yang selalu melindungi mahasiswa saat berunjuk rasa dari ancaman pasukan Tjakrabirawa dan preman-preman sewaan. Dulu hubungan militer dan mahasiswa pernah sangat erat.
Soekarno akhirnya tumbang. Kekuasaan beralih pada Jenderal Soeharto, yang dianggap berjasa menyelamatkan negara dari komunis. Tapi ternyata rezim baru ini tak lebih baik. Soeharto yang dielu-elukan bak pahlawan tidak seperti harapan masyarakat.

Soeharto pun represif. Tak ada tindakan apa pun untuk menghentikan banjir darah pembunuhan orang-orang yang dianggap PKI.

Gie kecewa melihat temannya sesama aktivis yang mendapat jatah kursi dalam pemerintahan baru Soeharto. Mereka mulai tampil bermobil dan berdasi. Para aktivis itu agaknya lupa cita-cita perjuangan mereka. Maka Gie mengirimkan bedak dan lipstik ke kantor teman-temannya yang menjadi pejabat. Cemooh agar mereka bisa tampil lebih 'cantik' dan semakin sukses menjilat penguasa.

Gie terus mengkritisi pemerintahan Orde Baru lewat tulisan-tulisan tajamnya di berbagai surat kabar. Satu persatu temannya pergi meninggalkan dirinya. Bagi aktivis lainnya, kejatuhan Soekarno adalah akhir revolusi. Bagi Gie, revolusi tidak hanya berhenti dengan berganti pemimpin.
Tujuan revolusi untuk menciptakan situasi politik yang aman dan harga-harga barang yang terjangkau, harus terwujud.

Gie meninggal di Puncak Gunung Semeru, 16 Desember 1969. Sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27. Dia tidak hanya menentang Soekarno, dia juga penentang Soeharto.

Soeharto lengser tahun 1998, 29 tahun kemudian. Lagi-lagi mahasiswalah yang menumbangkan rezim yang otoriter. Sejarah selalu berulang. Bahkan tidak sedikit beberapa kalangan aktivis mahasiswa yang menumbangkan Soeharto terbelit kasus korupsi. 

(sumber : www.merdeka.com)


No comments:

Post a Comment