Friday, 26 July 2013

Jejak Sang Jendral di Medan Tempur, Pimpin Pasukan Terjun Payung Sekaligus Terjun Payung Perdana

12 Maret 1958, satu kompi pasukan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) ditugaskan merebut Pekanbaru, Riau. Saat itu Sumatera telah bergolak. Sebagian daerah yang tak puas pada pemerintah Jakarta mendirikan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).

Maka Jakarta membalas aksi PRRI dengan operasi militer. Mereka mengirimkan pasukan untuk menguasai Sumatera dari para kolonel pembangkang.

Kompi A RPKAD dipimpin Lettu Benny Moerdani. Mereka diberangkatkan dari Pangkal Pinang dengan pesawat Dakota untuk terjun di daerah landasan udara Simpang Tiga. Tugas mereka merebut landasan itu agar pesawat Angkatan Udara bisa segera mendarat membawa perbekalan dan pasukan tambahan.

Walau memimpin pasukan terjun, Benny Moerdani belum pernah terjun payung sebelumnya. Ketika RPKAD mengadakan latihan terjun, Benny sedang sakit.

Tapi Benny tak takut, dia hanya berpesan kalau ragu-ragu agar didorong saja keluar dari pesawat. Soal penerjunan pertama ini ditulis Julius Pour dalam buku Benny Tragedi Seorang Loyalis yang diterbitkan KAta.

Informasi intelijen menyebutkan Simpang Tiga dan Pekanbaru dijaga 800 tentara PRRI. Tentunya risiko penerjunan besar sekali, mendarat tepat di jantung musuh.

Benny dan pasukan terjun serta mendarat mulus. Walau tak pernah terjun, Benny bisa mendarat dengan baik.

Para pemberontak tak mengira pasukan dari Jakarta telah mendarat. Begitu melihat RPKAD yang datang, mereka ambil langkah seribu. Sama sekali tak berani melakukan perlawanan. Pasukan PRRI begitu saja meninggalkan peralatan perang dan bantuan dari Amerika Serikat yang baru dikumpulkan di landasan.

Saat itulah Letnan II Dading Kalbuadi, rekan Benny, menendang sebuah peti kayu. Perwira muda RPKAD itu terkejut setengah mati melihat isinya.

"Wah duit, Ben! Uang, gimana ini?" kata Dading.

"Sudahlah jangan kau hiraukan. Tinggalkan saja, nanti kamu mati," kata Benny.
Selain uang, pasukan baret merah itu dikejutkan dengan persenjataan para pemberontak yang ditinggalkan. Jumlahnya melimpah. Semuanya senjata modern, bahkan ada bazooka. TNI sama sekali belum memiliki senjata-senjata secanggih itu.

Walau menerima bantuan senjata dari asing, rupanya PRRI tak punya semangat juang yang tinggi. Setelah Pekanbaru, berikutnya TNI bisa merebut Padang, Jambi, Medan, Jambi dan daerah-daerah yang dikuasai pemberontak.

Seorang bintara pensiunan baret merah, Peltu Nadi (86) berkisah soal perebutan Sumatera pada merdeka.com. Dia membenarkan memang perlawanan PRRI tak begitu berat.

"Mereka punya senjata lebih canggih, tapi semangat bertempur lemah. Apalagi kalau sudah mendengar harus berhadapan dengan RPKAD. Sengaja juga dibuat kabar RPKAD yang diterjunkan satu batalyon. Padahal satu kompi pun tak ada. darimana jumlah satu batalyon? Jika dikumpulkan juga paling-paling cuma dua kompi," kenang Nadi sambil tertawa.

Benny Moerdani kelak menjadi Panglima ABRI dengan pangkat jenderal bintang empat. Dia menjadi salah satu tokoh legendaris ABRI di masa orde baru.


No comments:

Post a Comment