Monday 16 September 2013

Biaya Pendidikan Satu Pilot Militer Capai Rp 9,4 M

Foto : tribunews.com
Menjaga angkasa pertiwi dari ancaman, sudah menjadi keharusan. Apalagi negara besar dengan potensi kekayaan alam yang sangat besar seperti Indonesia. Gencarnya usaha yang dilakukan pemerintahan saat ini, untuk melengkapi Alusista termasuk pesawat tempur canggih, wajib didukung oleh segenap bangsa. Dalam hal pesawat tempur, tidak hanya pisik pesawatnya yang berharga sangat mahal. Termasuk sumber daya manusia, yang akan mengemudikan alutsista ini. Perlu dana US$ 1 - 1,5 juta untuk menyiapkan seorang pilot militer TNI Angkatan Udara di Indonesia. Dana pendidikan seorang pilot selama 2-3 tahun sekitar Rp 9,5 hingga Rp 14 milyar dan itu seluruhnya ditanggung negara.

Direktur Utama Bandung Pilot Academy Nasrun Natsir mengatakan, biaya sekolah penerbangan TNI AU jauh lebih mahal daripada sekolah penerbang swasta. “Satu jam terbang training pesawat F-16 saja biayanya US$ 5.000 atau Rp 50 juta,” kata mantan instruktur penerbang pesawat tempur di Angkatan Udara itu, Sabtu, 23 Juni 2012.

Sekolah penerbang TNI AU biasanya berjalan selama 18 bulan. Siswa yang lulus kemudian berlatih di kesatuan selama 6 bulan. Setiap siswa kemudian diberikan pilihan sebagai pilot pesawat tempur, transportasi, atau helikopter. Mereka pun disiapkan lagi untuk latihan operasi perang, selama 6-12 bulan.

Tingginya biaya sekolah pilot itu, kata Nasrun, karena TNI AU memakai peralatan dan fasilitas mahal dan lengkap. Memang, ujar dia, ketika ada pilot militer yang tewas akibat kecelakaan pesawat jatuh seperti peristiwa Fokker 27 di perumahan Lanud Halim Perdanakusumah, Kamis lalu, atau dalam laga pertempuran, negara mengalami kerugian. ”Kehilangan sumber daya pilot itu kan aset penting,” katanya.

Namun TNI AU dengan kas negara, ujar dia, telah menyiapkan regenerasi pilot dengan bagus. Sehingga tetap selalu ada pilot tangguh di setiap angkatannya. Tapi Nasrun tidak bisa menyebutkan karena alasan kerahasiaan TNI.

Sumber : tempo.co

Saturday 14 September 2013

Asal mula pasukan khusus

foto : photobucket.com

Sepanjang peradaban manusia, kita mengenal beberapa pasukan khusus yang pernah ada. Misalnya Pasukan elite di era Kekaisaran Akhemania (Persia) Kuno yang disebut Immortal. Nama pasukan ini diberikan oleh Herodotus. Tugas mereka sebagai Garda Imperial, bertugas melindungi kekaisaran jika ada serangan dari luar.

Kemudian pasukan berjuluk The Hashishin. Pasukan ini terbentuk di Iran sekitar abad ke-12. Mereka dikenal memiliki kemampuan lihai untuk menculik dan membunuh musuh, terutama dengan pedang.

Di era modern, beberapa negara juga memiliki istilah sendiri untuk pasukan khusus mereka. Misal Israil, memiliki Israeli Special Forces yang dibentuk pada 1948 sebagai satuan khusus misi pengintaian. Kemudian Navi Seals pasukan khusus Amerika yang dibentuk pada masa pemerintahan President John F. Kennedy.

Lalu bagaimana di Indonesia? Dalam Serat Pararaton, kitab tentang mitologi raja-raja jawa pertengahan, konon diceritakan bahwa Majapahit juga sudah pernah membentuk pasukan khusus Bhayangkara yang dikepalai oleh Patih Gajah Mada. Pasukan ini dibentuk pada masa pemerintahan Raja Jayanagara (1309-1328). Tugas mereka melindungi kerajaan dari serangan luar.

Kisah Majapahit itu mitos lama yang dikisahkan dari naskah kuno di abad ke-15. Sekarang coba kita meloncat jauh ke zaman paska kemerdekaan 1945. Dalam berbagai catatan sejarah militer Indonesia, cikal bakal lahirnya TNI merupakan akumulasi gabungan para pejuang, baik didikan Jepang (PETA), Belanda (KNIL) maupun laskar rakyat. Pada 22 Agustus 1945, ketika sidang PPKI, dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR).

Kemudian setelah Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945, tiga bulan berikutnya BKR diubah menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat) melalui Keputusan Presiden tanggal 5 Oktober 1945. Tanggal itu ditetapkan sebagai hari lahirnya TNI. Selang tiga bulan, TKR diubah menjadi Tentara Keselamatan Rakyat, dan kembali diubah 17 hari berikutnya menjadi Tentara Republik Indonesia.

Meski sudah terbentuk TRI, ternyata masih ada barisan-barisan bersenjata lain. Maka pada 5 Mei 1947, Soekarno menggabung TRI dengan seluruh satuan bersenjata itu menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). TNI terbagi menjadi tiga angkatan bersenjata, Angkatan Darat (AD), Laut (AL) dan Udara (AU). TNI juga digabung dengan Polri di bawah naungan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.

Nah, dari setiap angkatan bersenjata itu--AD, AL, dan AU, masing-masing memiliki tim elit sendiri-sendiri. AD memiliki Resimen Komando Angkatan Darat (KKAD), kemudian berganti nama menjadi Resimen Para Komando Angkatan Darat (RKAD), lalu kemudian berganti menjadi Kopassus.

Sementara AL memiliki Korps Komando (KKO) AL dan Komando Pasukan Katak (Kopaska). KKO pada masa pemerintahan Orde Baru berganti nama menjadi Korps Marinir. Adapun AU memiliki Pasukan Gerak Tjepat (PGT), yang belakangan berubah menjadi Pasukan Khas (Paskhas) AU. Sementara pasukan elit Polri ketika itu adalah Resimen Pelopor, sebagai cikal bakal Brigade Mobil (Brimob).

Kalau sekarang? Istilah pasukan elit semakin mengerucut menjadi pasukan khusus. Misalnya Kopassus, memiliki detasemen khusus anti teror 81. Berikutnya TNI AL, membentuk Detasemen Jalamangkara untuk penanggulangan teror. Sementara TNI AU memiliki detasemen Bravo, Polri membentuk detasemen anti teror densus 88.

Sumber : merdeka.com

Friday 13 September 2013

Kisah heroik DKP menghadang maut demi sang Presiden

Presiden Soekarno mempunyai pengawal khusus. Mereka disebut Detasemen Kawal Pribadi (DKP), anggotanya berasal dari satuan polisi istimewa yang kini disebut Brimob.

Kesetiaan mereka teruji menyelamatkan Soekarno dari berbagai percobaan pembunuhan. Demi sang presiden, anggota DKP siap jadi tameng hidup.

Bulan Januari 1962, Presiden Soekarno dijadwalkan berpidato di Makassar. Hari sudah beranjak malam, ketika rombongan presiden menuju gedung pertemuan. Rombongan presiden pun melaju. Iring-iringannya dibuka sepeda motor sebagai voor rijders, lalu diikuti satu jip kawal pribadi (DKP), baru mobil RI-1. Setelah itu di belakangnya satu jip DKP, dan ditutup motor kawal belakang.

Ketika memasuki jalan Tjendrawasih yang sepi dan gelap. Tiba-tiba terdengar ledakan. Mobil Presiden digranat. Untungnya serangan itu meleset.

Ajudan Soekarno , Mayor Bambang Widjanarko menceritakan kisah itu dalam buku 'Sewindu Dekat Bung Karno ' yang diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia tahun 2010.

Bambang memerintahkan Soekarno tiarap. Saat seperti itu, protap keselamatan presiden semua dipegang ajudan. Di sekeliling mobil, anggota DKP bersiaga. Mereka menjadi tameng melindungi Soekarno . Jika para penyerang sudah menempatkan penembak jitu, bisa dibayangkan rombongan Soekarno akan menjadi sasaran empuk. Untung sekali lagi, penyerang hanya melemparkan granat tanpa diikuti serangan lain.

Setelah kondisi dirasa aman, rombongan meneruskan perjalanan menuju Gedung Olahraga Makassar. Soekarno berpidato membakar semangat rakyat seolah-olah tak terjadi apa-apa dalam peristiwa itu.

Tapi DKP makin merapatkan penjagaan. Ketika Soekarno hendak kembali ke gubernuran, Bambang dan DKP mengatur siasat. Wali Kota Makassar duduk di dalam mobil kepresidenan. Tak lupa dia diminta mengenakan kopiah seperti Soekarno .

Sementara itu Soekarno menumpang mobil di belakang iring-iringan itu. Tak ada serangan saat kembali. Soekarno pun selamat sampai gubernuran.

Cerita heroik soal anggota DKP ini juga dikisahkan Komandannya AKBP Mangil. Saat itu Soekarno melaksanakan Salat Idul Adha di Istana.

"Saya duduk enam langkah di depan bapak. Di samping saya duduk Inspektur Polisi Soedio. Kami berdua menghadap ke arah umat. Sedangkan tiga anak buah, Amon Soedrajat, Abdul Karim dan Susilo pakai pakaian sipil dan berpistol duduk di sekeliling bapak," cerita Mangil dalam buku Gerakan 30 September, Pelaku, Pahlawan & Petualang yang ditulis wartawan Senior Julius Pour, terbitan Kompas.

Tiba-tiba saat rukuk, seorang pria bertakbir keras. Dia mengeluarkan pistol dan menembak ke arah Soekarno . Refleks, semua pengawal berlarian menubruk Soekarno . Amoen melindungi Soekarno dengan tubuhnya. Sebutir peluru menembus dadanya. Amoen terjatuh berlumuran darah.

Pistol menyalak lagi. Kali ini mengenai menyerempet kepala Susilo. Tapi tanpa menghiraukan luka-lukanya, Susilo menerjang penembak gelap itu. Dua anggota DKP membantu Susilo menyergap penambak yang belakangan diketahui bernama Bachrum. Pistol milik Bachrum akhirnya bisa direbut DKP.

Soekarno berhasil diselamatkan. Begitu juga dengan dua polisi pengawalnya. Untungnya walau terluka parah, Amoen dan Susilo selamat.

Bambang Widajanarko memuji kesiapsiagaan para anggota DKP. Tanpa tindakan heroik mereka, Soekarno sudah tewas. Mereka rela berkorban bahkan nyawa sekalipun.

"Seorang anggota kawal pribadi berkorban hingga cacat seumur hidupnya," kisah Bambang.

Sumber : merdeka.com

Wednesday 11 September 2013

Sutiyoso sang Jendral Lapangan

foto : dakta.com
Mengecap pendidikan SD di desa kelahirannya, melanjut SMP, SMA dan sempat kuliah satu tahun di Fakultas Teknik Untag di kota Semarang, yang diwarnai oleh kegemarannya berkelahi dan berolahraga (bertarung fisik). Hingga akhirnya setelah merenungi masa lalu (masa kecil dan remajanya) dan menatap masa depan, dia membulatkan tekad beralih masuk Akademi Militer (Akmil) tanpa lebih dulu memberi tahu orangtuanya, terutama Sang Ibu. (Bagian Satu: Masa Kecil Hingga Masuk AMN - Membalut Pasir Jadi Mutiara).

Di Akmil (kini AMN), selain sempat waswas dipanggil pulang orangtua, Sutiyoso juga melewati perpeloncoan yang super berat dan menyakitkan. Dia menjadi bulan-bulanan para senior yang antara lain tampaknya melepas dendam, karena ketika di SMA satu angkatan, mereka selalu ketakutan kepada Sutiyoso. Di Akmil, Sutiyoso menjadi junior satu tahun karena sempat kuliah di Untag. Di lehernya digantungkan nama julukannya selama pelonco: Kurang Permak. Sehingga dia menjadi bulan-bulanan beberapa seniornya. Dia dipelonco hingga babak belur, membuat Sutiyoso bagai anak kerang yang merintih kesakitan akibat kemasukan pasir dalam perutnya. Saking sakitnya, nyaris dia melarikan diri, tetapi dengan kepasrahannya kepada kehendak Allah dan impiannya yang membara menjadi tentara, tiba-tiba muncul sesuatu yang membuatnya tabah dan kuat. Dia tabah membalut pasir kepedihan dengan tahan banting, hingga menempa dirinya laksana mutiara.

Setelah menyelesaikan pendidikan di Akmil (1968), Sutiyoso dengan penuh semangat melanjutkan pengasahan dirinya dengan mengikuti Kursus Sarcab Infateri (1969) sebagai konsekuensi atas pilihannya memilih kesatuan infanteri untuk karier militernya. Selepas itu, tidak mau tanggung-tanggung dan ingin berbakti secara total, dia pun memilih menjadi perwira di satuan Komando Pasukan Khusus (Kopassus), yang kala itu bernama Pusat Pasukan Khusus (Puspassus) TNI AD, yang kemudian tahun 1971 menjadi Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopassandha).

Untuk bisa menjadi perwira di Kopassus, harus dilalui dengan seleksi yang ketat dan dilanjutkan tahapan pendidikan dan pelatihan komando, mulai dari tahap basis berupa pendidikan dasar komando, tahap gunung dan hutan, serta tahap rawa laut. Setelah lolos melalui semua tahapan pendidikan komando itu, Sutiyoso pun dilantik menjadi prajurit (perwira muda) para komando dengan mengenakan Baret Merah. (Bagian Dua: Gigih dalam Latihan dan Karier - Laksana Bijih Platinum).

Setelah itu, proses pengasahan dirinya juga terus berlanjut dengan mengikuti Pelatihan dan Pendidikan Intelijen Tempur di Pusdik Intel Bogor (1973), Pendidikan Intelijen Strategis juga di Pusdik Intel Bogor (1976), dan Suslapa Infanteri (1978). Juga tekun mengikuti Kursus P4 (1983), dan Kursus Kewaspadaan Nasional (1983). Kemudian mengikuti Pendidikan Seskoad (1983-1984) serta memperdalam penguasaan bahasa dengan mengikuti kursus Bahasa Inggris (1986). Saat sudah berpangkat letnan kolonel mengikuti pelatihan on job training di Brigade 5 Airborne, Aldershot, Inggris (1987). Bahkan masih kuat nyali mengikuti pelatihan terjun bebas (freefall) saat sudah berpangkat kolonel (1988). Kemudian pada tahun 1990 mengikuti pelatihan Joint Service Staff College (JSSC) di Australia, setingkat Seskogab (Sekolah Staf Komando Gabungan). Bahkan pada saat berkunjung ke Amerika Serikat masih amat bergairah mengikuti terjun payung malam bersama tentara Amerika, Divisi 82 Airborne di Fortbragg, AS (1991). Lalu mengikuti Kursus Reguler Lemhannas (1993).

Dengan pengasahan diri tersebut, dia terbilang sebagai prajurit Kopassus yang amat tangguh dan teruji, baik dalam tugas operasi maupun tugas teritorial. Bahkan, Sutiyoso menjadi salah seorang perwira Kopassus yang paling teruji dalam tugas operasi dan intelijen tempur pada zamannya. (Bagian Tiga: Totalitas Prajurit Para Komando - Tugas Operasi Militer).

Pertama sekali, setelah diterima menjadi perwira pasukan para komando, Letda Infanteri Sutiyoso ditugaskan BKO Yonif 323 Banjar Patronan untuk melaksanakan tugas Operasi Pemberan­tasan PGRS/Paraku (1969) di Kalimantan Barat. Dia bertugas sebagai Komandan Pleton combat intelligence (intelijen tempur). Pada saat itu, dia dan pasukannya telah menunjukkan kehandalan dan kejelian (strategi) menghadapi musuh di medan belantara Kalimantan Barat. Mereka mengisolasi gerilyawan PGRS/Paraku dengan penduduk setempat, dengan menggalang kepercayaan penduduk setempat, memisahkan rakyat dengan gerilyawan PGRS/Paraku. Sehingga lebih mudah mengenali musuh serta memutus mata-rantai dukungan dan pasokan logistik kepada gerilyawan PGRS/Paraku tersebut. Sehingga gerilyawan PGRS/Paraku tidak ada yang berani muncul. Makanya selama bertugas di Kalbar, dia tak melepas sebutir peluru pun. (Bagian 03.01: Operasi Sapu Bersih PGRS/Paraku).

Sutiyoso tidak hanya siap ’berkelahi’ menyabung nyawa di Kalbar, tetapi juga dalam operasi intelijen tempur terbatas (Operasi Flamboyan) serta Operasi Seroja di Timor Timur (1975). Bahkan Pra Operasi Flamboyan (1974), Sutiyoso telah lebih dulu disusupkan sendirian secara klandestin ke perbatasan Timor Portugis tersebut dengan pertaruhan nyawa. Kisah penyusupannya secara klandestin ke Batugede, dan pertarungan­nya yang amat dramatis ketika menyerang markas tentara dan Kapolri (1968-1971)
polisi di Suai, Timor Portugis, terutama saat dia berjuang mengevakuasi empat anggota pasukannya yang tertembak, sungguh lebih otentik, heroik dan legendaris daripada film-film tentara Amerika produksi Hollywood. (Bagian 03.02: Menya­bung Nyawa di Timtim; 03.02.02.The Legend of The Blue Jeans Soldiers).

Begitu pula, ketika dia memimpin pasukan sandiyudha dalam operasi intelijen tempur melawan Gerakan Pejuang dari Aceh
Aceh Merdeka, di pedalaman Pejuang dari Aceh
Aceh (1978). Selama 10 bulan Sutiyoso memimpin operasi di Pejuang dari Aceh
Aceh, nyaris tidak sebutir peluru pun diletuskannya, kecuali satu peluru yang diarahkan tepat ke kaki juru masak Hassan Tiro yang mencoba melarikan diri. Bayangkan, dalam medan tempur sesulit itu, dengan ancaman nyawa bisa melayang seketika, dia sama sekali tak pernah gegabah meletuskan sebutir peluru dari moncong senjatanya. Dia pun tidak pernah memerintahkan anggota pasukannya melepas tembakan untuk membunuh pasukan separatis Gerakan Pengacau Keamanan (GPK-GAM). Kalau pun pasukannya terpaksa menembak, dia pastikan bukan tembakan yang diperintah­kan untuk mematikan melainkan hanya mengancam dan melumpuhkan. Namun, ketika itu, Mayor Sutiyoso dan pasukannya berhasil menangkap hidup-hidup (sebagian menyerahkan diri) semua tokoh GAM (kecuali Hasan Tiro) dan tidak ada satu orang pun yang dia bunuh atau dia perintahkan bunuh.

Kisah penangkapan para petinggi GAM hidup-hidup, yang diawali penangkapan Menkeu GAM yang hendak berangkat ke markas PBB di New York juga lebih otentik dari kehandalan tentara (intelijen tempur) Amerika yang selalu disuguhkan dalam drama film-film perang dan spionase Amerika. (Bagian 03.03: Penugasan Mendadak ke Aceh).

Beberapa kisah pertarungannya di medan operasi cukup otentik membuktikan bahwa dia seorang perwira intelijen dan infanteri pasukan elit yang bernyali sekaligus bernurani dan tidak pernah panik. Bayangkan, betapa luar biasanya dia. Seorang perwira infanteri pemberani (petarung) yang sejak kecil terbiasa berkelahi berdarah-darah, namun di medan operasi setangguh dan sesulit Aceh, dia sama sekali tak pernah melepas sebutir peluru dari moncong senjatanya. Itulah karakter militer Sutiyoso. Seorang pemberani bertempur di garis depan dalam jarak dekat (infanteri) yang selalu siap berkelahi, fight dengan menyabung nyawa, namun dipenuhi hati nurani[3] yakni perasaan hati yang murni dan yang sedalam-dalamnya, hati yang telah mendapat cahaya Tuhan.

Dalam medan seberat Kalimantan Barat, Aceh dan Timor Timur, jika keadaannya tidak sangat memaksa, dia selalu berusaha (nurani) untuk tidak mesti membunuh, tetapi selalu dengan gagah berani memastikan harus berhasil melumpuh­kan lawan dan memenangkan pertarungan (peperangan). Luar biasa! Sesulit apa pun tugas operasi, Sutiyoso selalu melaksana­kan­nya dengan sepenuh hati, pikiran, jiwa dan raga (total) serta tawakal.

Totalitas diri dengan memberikan segala sesuatu secara maksimal dan tak mengenal istilah setengah-setengah, adalah ciri pengabdian Sutiyoso selama berkarier sebagai perwira infanteri dan intelijen tempur Komando Pasukan Khusus TNI Angkatan Darat. Maka tak heran jika jenjang karier dan pangkatnya terus menanjak. Mulai dari Komandan Peleton Para Komando (1969) dengan pangkat Letnan Dua (1968-1969), naik jabatan menjadi Komandan Kompi Grup 2 Kopassandha, Magelang, dengan pangkat Letnan Satu (1971-1972). Kemudian, jabatannya naik menjadi Kepala Seksi I (Intel) Grup 2 Kopassandha dengan pangkat Kapten (1973-1977). Saat itu (1976), Grup 2 Kopassan­dha dipindah ke Solo. Saat menjabat Kasi I Grup 2 Kopassandha, Sutiyoso dipercaya mendampingi Kolonel Dading Kalbuadi mengamati perkembangan di perbatasan Timor Timur (Timor Portugis). Setelah itu menanjak menjadi Komandan Karsa Yudha Kopassandha berpangkat Mayor selama tiga tahun (1978-1981). Saat kerusuhan di Solo, ISSK Grup-2 Kopassandha di-BKO dengan Korem 074/Warastratama, Solo. Ketika itu, Sutiyoso, walau keterlibatannya sudah agak terlambat, berhasil meredam kerusuhan rasial di Solo.

Sumber: http://www.tokohindonesia.com

Saturday 7 September 2013

Mental heroisme para pejuang dibawah pimpinan Mayor Daan Mogot

Peristiwa pertempuran Lekong adalah satu kisah yang tidak bisa dilupakan begitu saja dalam perjalanan sejarah perjuangan pendirian Republik ini. Dalam pertempuran ini, sebanyak 33 taruna Militaire Academie Tangerang dan 3 perwira rela menjadi korban.

Peristiwa ini bermula saat kekuatan militer yang terkumpul di Militaire Academie Tangerang kehabisan amunisi. Padahal, mereka masih harus berjuang karena masih ada beberapa ancaman dari pihak Belanda karena tidak mengakui kemerdekaan Indonesia.

Satu-satunya jalan untuk memenuhi cadangan amunisi dan persenjataan itu adalah senjata milik tentara Jepang yang ada di Lengkong, yang telah dilarang menggunakan senjata dan harus dilucuti oleh Sekutu lantaran kalah dalam Perang Dunia II.

Upaya meminta senjata itu dijalankan oleh tiga perwira Resimen IV Tangerang yaitu Letkol Singgih, Mayor Daan Mogot, dan Kapten Endjon dengan cara melakukan pendekatan terhadap Kapten Abe, petinggi tentara Jepang di Lengkong. Tetapi, upaya itu selalu gagal karena Kapten Abe selalu menolak memberikan senjata.

Padahal, antara Republik Indonesia dengan Sekutu telah terjalin kesepakatan akan melucuti dan memulangkan para tentara Jepang ke negeri asalnya. Sehingga, Resimen IV terpaksa harus sesegera mungkin meminta senjata-senjata itu sebelum pelucutan dilakukan sendiri oleh pasukan Sekutu.

Adanya informasi yang menyebut pasukan Belanda telah sampai di Parung dan akan menuju ke Lengkong untuk melakukan pelucutan senjata membuat situasi semakin sulit. Akhirnya, Pimpinan Resimen Tangerang harus bergerak cepat melakukan pelucutan senjata.

Berbekal alasan telah adanya kesepakatan antara RI dengan Sekutu, Mayor Daan Mogot diutus memimpin pasukan yang beranggotakan para taruna Militaire Academie Tangerang untuk melucuti pasukan Jepang. Daan Mogot didampingi oleh seorang taruna Militaire Academie Tangerang yang mahir berbahasa Jepang bertemu dengan Kapten Abe.

Resimen IV pun tahu akan gagal jika pelucutan dilakukan tanpa melibatkan unsur Sekutu. Mereka kemudian memakai siasat dengan melibatkan beberapa pasukan Inggris keturunan India yang keluar dari satuannya untuk menemui Kapten Kobe.

Siasat itu ternyata berjalan dengan sangat efektif. Pasukan Jepang percaya bahwa yang melucuti senjata adalah pihak Sekutu. Misi pelucutan senjata berjalan dengan damai.

Tetapi, sebuah insiden terjadi lantaran terdengar suara ledakan yang tidak diketahui asalnya. Hal itu membuat pasukan Jepang berlarian dan berusaha meraih kembali senjata yang telah disita.

Pertempuran berjalan secara tidak seimbang. Jika dibandingkan, pasukan Jepang memiliki pengalaman tempur yang cukup lama ditambah persenjataan yang lengkap, sementara taruna Militaire Academie Tangerang belum memiliki pengalaman yang cukup.

Selain itu, faktor senjata menjadi salah satu kendala yang sangat berat. Para taruna belum terbiasa menggunakan senapan jenis caraben Terni. Ditambah lagi, sering kali peluru yang dimasukkan tidak sesuai dengan spesifikasi senjata sehingga menyebabkan macet saat dipakai.

Akhirnya, sebanyak 33 taruna dan 3 perwira, yaitu Mayor Daan Mogot, Lettu Soebianto Djojohadikusumo, dan Lettu Soetopo meninggal dalam pertempuran Lengkong. Para taruna yang masih hidup disandera Jepang dan disuruh menggali kubur bagi teman-temannya yang meninggal.

Mendengar kabar itu, Pimpinan Resimen Tangerang kemudian meminta izin kepada Jepang untuk mengambil jenazah para pejuang. Setelah diizinkan, jenazah-jenazah tersebut kemudian dikebumikan di dekat penjara anak-anak Tangerang.

Saat proses pemindahan, ditemukan sebuah catatan kecil berisi sajak berbahasa Belanda buatan Henriette Roland Holst di saku seragam Lettu Soebianto Djojohadikusumo. Sajak itu kemudian digubah ke dalam Bahasa Indonesia, dan diabadikan di pintu gerbang Taman Makan Pahlawan Tangerang. Sajak tersebut berbunyi:

Kami bukan pembina candi,
Kami hanya pengangkut batu,
Kamilah angkatan yang mesti musnah,
Agar menjelma angkatan baru,
Di atas kuburan kami telah sempurna.(mdk/mtf)

Sumber : Merdeka.com

Slamet Riyadi perwira muda dengan kemampuan luar biasa

wikipedia.org
Selain serangan umum 1 Maret di Yogyakarta. Ada juga serangan umum 10 Agustus 1949 di Kota Solo. Seakan tenggelam oleh Serangan Umum 1 Maret yang dibuat Soeharto, sejarah yang serangan umum di Solo ini tidak begitu populer.

Padahal, serangan ini membuat kedudukan TNI makin kuat dan makin menyurutkan niat Belanda untuk kembali menguasai Indonesia. Di sinilah Belanda dipukul untuk kedua kalinya.

Hasil perundingan Roem-Roijen tanggal 7 Mei 1949, menyepakati Yogyakarta dikembalikan pada Republik Indonesia. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta pun bisa kembali dari pengasingannya. Pemerintah Belanda sepakat menghentikan agresi militer. Sementara tentara republik menghentikan aksi gerilya. Selain itu mereka menyepakati tanggal 11 Agustus 1949, tentara Belanda dan tentara republik harus menghentikan tembak menembak.

Namun bukan berarti suasana perdamaian langsung terasa. Pasukan Belanda yang ditarik dari Yogyakarta kini dikonsentrasikan di Kota Solo. Tembak menembak masih sering terjadi. Di Yogyakarta memang tidak ada tembak menembak. Tapi di daerah lain justru makin gencar.

Kalangan militer RI tidak yakin Belanda akan benar-benar menyepakati perjanjian tertentu. Maklum saja, dua kali TNI menelan pil pahit saat Belanda melanggar perjanjian Linggarjati dan Renville serta menggelar agresi militer Belanda I dan II.

Apalagi tentara Belanda kerap melakukan apa yang disebut mereka 'aksi pembersihan'. Dalam buku 'Doorstoot Nar Djokja' Julius Pour menulis sekitar tanggal 3 Agustus 1949, pasukan Belanda menyerang pusat militer di Desa Balong. Tempat itu merupakan pemancar radio republik dan markas Gubernur Militer Gatot Soebroto. Pasukan Belanda menghancurkan desa itu, namun tidak bisa menemukan target mereka. Untuk melampiaskan kemarahan dua pesawat Mustang menembaki desa-desa di sekitar Balong dengan roket.

Kejadian itu membuat Komandan SWK 106 Arjuna Mayor Achmadi berang. Pria yang baru berusia 21 tahun itu merancang aksi balasan pada pasukan Belanda yang berada di Kota Solo. Achmadi memerintahkan pasukannya menyerang Kota Solo tanggal 7 Agustus 1949.

Karena kesulitan komunikasi, Achmadi tidak tahu kalau komandannya, Letkol Slamet Riyadi juga merencanakan serangan umum tanggal 10 Agustus. Slamet Riyadi menyebut serangan ini 'Afscheidsaanval' atau serangan perpisahan, karena tanggal 11 Agustus mereka harus mematuhi gencatan senjata.

Jadilah tanggal 7 Agustus, Achmadi dan pasukannya yang terdiri dari batalion tentara pelajar mengepung Solo. Walau bersenjata seadanya, keberanian pasukan ini membuat repot Belanda. Sekitar 2.000 tentara pelajar harus berhadapan dengan sekitar 1.300 pasukan Belanda di Kota Solo yang dilengkapi tank dan pesawat terbang.

Tepat pukul 06.00 WIB, 10 Agustus 1949, pasukan Brigade V pimpinan Slamet Riyadi turut menyerang dari empat penjuru kota. Persenjataan dan taktik pasukan Slamet Riyadi yang lebih baik dari tentara pelajar membuat Belanda makin kewalahan. Slamet Riyadi pun bisa merebut pos-pos penting Belanda di Kota Solo.

Komandan pasukan Belanda di Kota Solo, Kolonel Ohl mencoba mendatangkan pasukan baret hijau dari Semarang. Namun landasan udara Panasan terus dihujani tembakan oleh pasukan Slamet Riyadi. Pesawat Dakota yang mengangkut pasukan andalan kerajaan Belanda ini tidak bisa mendarat. Mereka pun terpaksa kembali ke Semarang dan kembali ke Solo menggunakan truk.

Kolonel Ohl kebingungan menghadapi pasukan Slamet Riyadi. Ohl bahkan sampai minta petunjuk atasannya di Batavia untuk memecahkan masalah ini.

Tepat pukul 00.00 WIB, 11 Agustus 1949. Pasukan Slamet Riyadi menghentikan tembak menembak. Mereka mematuhi perintah Soekarno untuk melakukan gencatan senjata. Pasukan Belanda pun ikut menghentikan tembakan. Beberapa bahkan menyalami para gerilyawan yang baru masuk Kota.

Namun aksi perdamaian ini dirusak oleh segerombolan pasukan Baret Hijau Belanda. pasukan yang sebelumnya gagal mendarat, datang kembali dengan truk. Tanpa belas kasihan, mereka menyembelih sejumlah pasien PMI. Aksi ini menimbulkan kemarahan tentara republik. Mereka mengejar pasukan Baret Hijau dan membunuh tujuh anggota pasukan baret hijau.

Setelah insiden itu, relatif situasi di Solo aman terkendali. Hingga pengakuan kedaulatan, Letkol Slamet Riyadi pun menerima pengakuan Kota Solo dari tangan Belanda yang diwakili Kolonel Ohl.

Kolonel Ohl kaget melihat Letkol Slamet Riyadi yang masih sangat muda. Dia terpesona selama ini menghadapi seorang perwira yang usianya sama dengan anaknya. Saat itu Slamet Riyadi baru berusia 22 tahun.

"Overte (Letkol) masih sangat muda, tetapi mempunyai kemampuan yang luar biasa," kata Kolonel Ohl tulus.

Slamet Riyadi gugur ketika mencoba merebut Kota Ambon dari tangan pasukan Republik Maluku Selatan (RMS), tanggal 3 November 1950. Saat gugur usianya Slamet Riyadi baru 23 tahun.(mdk/ian)

Sumber : garudamiliter.blogspot.com


Serda Paus Kogoya mempertaruhkan nyawa demi keutuhan NKRI


Pangdam XVII/Cenderawasih Mayjen TNI Drs. Christian Zebua MM bertindak selaku Inspektur upacara pada upacara bendera hari Senin tanggal 11 Maret 2013 sekaligus pelaksanaan upacara Kenaikan Pangkat Luar Biasa (KPLB) atas nama Kopka Paus Kogoya bertempat di Lapangan upacara Markas Kodam XVII/Cenderawasih.

Dalam amanatnya, Pangdam mengatakan secara umum situasi keamanan di Papua saat ini dalam kondisi yang kondusif. Dikatakan demikian karena sampai saat ini segenap perangkat pemerintahan masih tetap tegak berwibawa, mampu melakukan tugas dan fungsinya serta kegiatan kemasyarakatan secara normal. Hal ini tentu tidak terlepas dari kerja keras dari seluruh prajurit Kodam XVII/Cenderawasih, oleh karenanya, Pangdam memberikan apresiasi dengan tulus kepada seluruh prajurit Ksatria Pelindung Rakyat, sesungguhnya kita memiliki kemampuan untuk mewujudkan masyarakat Papua yang aman, damai dan memiliki kesadaran serta kepatuhan terhadap hukum. Mencermati hal tersebut Pangdam menekankan kepada para prajurit Kodam XVII/Cenderawasih, untuk selalu bersikap dan berprilaku sebagai prajurit Sapta Marga yang paham betul akan Sumpah Prajurit dan 8 Wajib TNI, serta menghindari pelanggaran prajurit.

Pada kesempatan ini, kita juga melaksanakan upacara Kenaikan Pangkat Luar Biasa (KPLB) kepada Kopral Paus Kogoya, NRP 568783, Babinsa Korem 172/PWY Kodam XVII/Cenderawasih, sesuai dengan Skep Kasad Nomor : Kep/64/III/2013, tanggal 5 Maret 2013 tentang penetapan Kenaikan Pangkat Luar Biasa kepada prajurit TNI AD atas nama Paus Kogoya untuk dinaikkan pangkatnya satu tingkat lebih tinggi dari pangkat semula menjadi Sersan Dua (Serda) Terhitung mulai tanggal 6-3-2013. Prestasi tersebut karena berhasil mengajak saudara kita Daniel Kogoya beserta anggotanya untuk bergabung kembali ke NKRI.

Daniel Kogoya merupakan salah satu Tokoh Sentral Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka Papua Barat (TPN OPM PB), dengan jabatan terakhir Kepala Staf TPN OPM PB. Siapapun pasti tahu betapa sulitnya mendekati dan mengajak para tokoh sentral Organisasi Papua Merdeka (OPM) untuk diajak kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Berbagai rintangan dan tantangan menghadang, begitupun nyawa bisa saja menjadi taruhannya, namun dengan tekad yang kuat Kopka Paus Kogoya melalui komunikasi sosial yang konstruktif terus diupayakan agar saudaranya yakni, Daniel Kogoya dan pengikutnya kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi untuk dapat hidup dengan aman, damai, dan tidak hidup dalam pengejaran aparat keamanan, karena dinilai sparatis.

Berkenaan dengan itu, selaku Pangdam XVII/Cenderawasih dan pribadi, Mayjen TNI Drs. Christian Zebua MM menyampaikan ucapan “Selamat” kepada Sersan Dua Paus Kogoya atas Kenaikan Pangkat Luar Bisa yang diberikan oleh negara. Semoga kenaikan pangkat ini dapat memberikan motivasi, inspirasi bagi seluruh prajurit Ksatria Pelindung Rakyat dalam meningkatkan kinerja dan pengabdian kepada bangsa dan negara. Kenaikan Pangkat Luar Biasa (KPLB) dalam organisasi militer merupakan penghargaan yang diberikan oleh negara atas prestasi dan dedikasi luar biasa yang dilakukan prajurit melebihi tugas dan tanggung-jawabnya.

Hal tersebut telah ditunjukan oleh Sersan Dua Paus Kogoya selama menjalankan tugas. Kenaikan Pangkat Luar Biasa ini memang bukan diperoleh secara otomatis, melainkan melalui proses penilaian yang objektif terhadap kinerja luar biasa yang telah dilaksanakan dalam tugas. Oleh karena itu, sudah sepatutnya disyukuri dan tunjukkan rasa syukur tersebut dengan kinerja terbaik dalam menghadapi tugas-tugas ke depan, karena semakin tinggi pangkat yang disandang, maka akan semakin tinggi pula tanggung jawab yang akan diembannya.

 Penuturan Kopka, Paus Kogoya Saat Bernegosiasi Dani Kogoya

Kuatir Dibunuh, Sempat Dicegat Angkatan Laut Perairan PNG

Dani Kogoya merupakan salah satu tokoh sentral Tentara Perjuangan Nasional Organisasi Papua Merdeka Papua Barat (TPN OPM PB), dengan jabatan terakhir Kepala Staf TPN OPM PB. Nah bagaimana ia bisa didekati dan diajak bergabung ke NKRI oleh Kopka Paus Kogoya anggota Kodim 1702/Jayawijaya? berikut ulasannya.

Siapapun pasti tahu betapa sulitnya mendekati dan mengajak para tokoh sentral Organisasi Papua Merdeka (OPM) untuk diajak kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sama halnya dengan Kepala Staf Tentara Perjuangan Nasional Organisasi Papua Merdeka Papua Barat (TPN OPM PB), Daniel Kogoya.

Berbagai rintangan dan tantangan menghadang, begitupun nyawa bisa saja menjadi taruhannya, namun tekad Kopka Paus Kogoya agar saudara-saudaranya yakni, Daniel Kogoya dan pengikutnya dapat hidup dengan aman, damai, dan tidak hidup dalam pengejaran aparat keamanan, karena dinilai separatis.

Atas dasar itulah, pada tiga bulan lalu, dirinya menghadap Danrem 172/Praja Wira Yakti, Kolonel Yopie Wayangkau, untuk menyampaikan maksudnya untuk mengajak Daniel Kogoya bersama pengikutnya untuk hidup dengan aman, damai dan hidup diberdayakan dalam bingkai NKRI.

“Waktu itu saat ketemu Danrem 172/PWY untuk menyampaikan niat saya sekaligus meminta ijin, dan Danrem menyampaikan silakan, itu niat baik, dan upaya selalu koordinasi dengan dirinya (Danrem,red),” ungkapnya kepada Bintang Papua usai penyerahan Daniel Kogoya dan pengikutnya di Aula Kantor Distrik Muara Tami, Jumat, (25/1).

Kemudian, dirinya mulai melakukan komunikasi melalui penghubungnya dengan Daniel Kogoya, dan sedikit demi sedikit Daniel Kogoya tersentuh hatinya, lalu dirinya dan Daniel Kogoya berbuat janji untuk bertemu di perbatasan RI-PNG, tepatnya Wutung, Distrik Muara Tami.

Tiba pada hari yang dijanjikan, dirinya berangkat ke perbatasan RI-PNG, disitulah komunikasi lebih lanjut dibangun, dimana dirinya mengajak Daniel Kogoya agar menghentikan segala kekerasan yang dilakukan selama ini, karena rakyat menjadi korban. Lagi pula saat perhatian pemerintah terus secara optimal diberikan kepada rakyat Papua melalui berbagai kebijakan-kebijakan, diantaranya diberlakukannya dana Otsus bagi Tanah Papua.

“Waktu itu saya gunakan mobil taksi ke perbatasan untuk bertemu dengan Daniel Kogoya. Kami bangun komunikasi selama 3 bulan antara saya dan Daniel Kogoya,” terangnya.

Selanjutnya, ketika Daniel Kogoya memantapkan niatnya untuk bergabung dengan NKRI, akhirnya pada hari yang ditentukan dirinya berangkat ke PNG dengan difasilitasi Danrem 172/PWY menggunakan perahu spead boat. Setiba di PNG Ia disambut Daniel Kogoya bersama pengikutnya dengan berseragam loreng lengkap beserta dengan senjatanya.

Sewaktu dalam perjalanan ke PNG, ia juga takut, karena baginya inilah adalah sama saja menyerahkan diri dengan maut, dimana selain berhadapan dengan Daniel Kogoya dan pengikutnya, disisi lainnya juga harus berhadapan dengan aparat keamanan.

Rintangan yang dihadapi pun tidak segampang dibayangkan, karena saat dirinya dan Daniel Kogoya hendak kembali ke Muara Tami, mereka dihadang oleh dua kapal perang milik aparat keamanan PNG, disinilah ketakutannya bertambah, karena jika dirinya bersama Daniel Kogoya dan gerombolannya ditangkap, yang pastinya tidak akan bisa pulang ke Jayapura, dan tamatlah riwayat pekerjaan yang selama ini dilakukannya, yakni membawa kembali Daniel Kogoya dan pengikutnya ke pangkuan NKRI.

Di tengah ketakutannya itu, dirinya meminta kepada Daniel Kogoya dan pengikutnya untuk bisa berbicara dalam Bahasa Inggris Fiji, namun minimal bisa Berbahasa Inggris. Suasana semakin bertambah tegang ketika kapal perang milik PNG semakin dekat dengan perahu yang ditumpanginya itu. Melihat hal itu Daniel Kogoya berbicara dengan aparat keamanan PNG dengan menggunakan Bahasa Inggris Fiji.

Dengan mendengar Bahasa Inggris Fiji yang digunakan Daniel Kogoya, pihak aparat keamanan PNG mengira bahwa dirinya dan Daniel Kogoya bersama pengikutnya merupakan warga PNG, setelah itu dirinya menyerahkan sejumlah rokok kretek, dan akhirnya tentara PNG pergi meninggalkan mereka.

“Waktu itu ombak hamtam kami, jadi kami berenang kembali hanya dengan celana dalam saja. Kemudian kami gunakan perahu yang agak besar untuk kembali, dan saat itu kami bertemu dengan tentara PNG. Waktu kami dikepung saya bilang bicara sembarangan saja dengan bahasa Inggris atau inggris Fiji, kalau ketahuan kita orang Indonesia kita ditangkap. Saya bilang ke Daniel Kogoya untuk segera bicara dengan bahasa Inggris Fiji, dan akhirnya tentara PNG hormat beliau karena Daniel Kogoya adalah salah satu tokoh besar yang di kenal di PNG, akhirnya kami di lepas,” jelasnya.

Tantangan yang dihadapi bukan hanya sampai disitu saja, tantangan lainnya adalah semenjak pihaknya mulai berada di perairan laut Indonesia, kehabisan bahan bakar minyak, dan hanya berlabuh selama 3 jam, yang kemudian ditemukan oleh angkatan laut Indonesia dan dibawa ke Jayapura.

“Syukur kami diselamatkan oleh Tuhan, sehingga kami bisa tiba disini dan saudara saya Daniel Kogoya beserta pengikutnya bisa kembali ke kampung halamannya dan hidup sebagaimana dengan saudara-saudara kita yang lainnya untuk membangun tanah Papua,” pungkasnya.(*/don/l03)

Sumber : garudamiliter.blogspot.com