Tuesday 20 August 2013

WN Malaysia bandingkan bendera merah putih dengan kolor

timlo.net
Seorang pimpinan perusahaan industri CPO di Dumai, Riau menyulut amarah warga setempat. Bos CPO tersebut telah mengucapkan kata-kata diduga menghina lambang bendera merah putih, Jumat (16/8) pekan lalu.

Ketua Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan TNI-Polri (FKPPI) di Kota Dumai Amris, Selasa, mengatakan, ucapan yang dilontarkan Broderick Chin itu sangat melukai hati masyarakat yang sedang bersukacita merayakan hari kemerdekaan RI ke 68.

Sejumlah aliansi masyarakat dan himpunan mahasiswa telah menggelar aksi protes dan mengecam pernyataan Broderick Chin, pimpinan PT Kreasijaya Adhikarya yang membandingkan bendera merah putih dengan kolor (celana dalam-red) miliknya.

Perilaku bos yang berkebangsaan Malaysia ini, menurutnya tidak bisa dimaafkan dan harus diproses sebagaimana mestinya dengan tegas.

"Ucapan pimpinan perusahaan ini sangat melukai hati bangsa kita, dan jika benar, kami minta dia dipecat dan tidak boleh berada di Dumai," kata Amris tegas seperti dikutip dari Antara, Senin (20/8).

Aksi protes juga akan dilakukan puluhan mahasiswa gabungan Dumai atas nama Aliansi Rakyat Indonesia Merdeka dengan ber-longmarch menuju areal PT Pelindo dimana PT Kreasijaya Adhikarya beroperasi di lingkungan tersebut.

Teguh, mahasiswa Dumai mengatakan, penghinaan atas bendera merah putih tidak bisa ditoleransi dan mesti diusir dari NKRI. Mahasiswa menuntut Broderick Chin diadili atas pelecehan dan penghinaan kemerdekaan Indonesia dan non aktifkan perusahaan tersebut di Dumai dengan mencabut izin operasinya.

"Dia telah menginjak harga diri bangsa ini dan kita tidak boleh berdiam diri, harus bertindak dan mengusir dia dan perusahaannya di negara Indonesia. Kita menuntut dia diadili seberat-beratnya atas penghinaan kemerdekaan bangsa Indonesia," sebut Teguh. Abdul Razak

Sumber : merdeka.com

Endang Arifin selamanya dikenang rakyat Jepang sebagai pahlawan

publishedmin.blogspot

Makna kepahlawanan dari pemuda Indonesia ternyata juga sangat berarti bagi pemerintah Jepang, terbukti dari kesediaan PM Jepang Taro Aso untuk memberikan penghormatan kepada Endang Arifin, seorang trainee yang tewas demi menyelamatkan nyawa dua remaja Jepang.

"Kepahlawanan atas pengorbanan Endang Arifin (21) tersebut akan dilakukan dalam suatu upacara khusus yang disebut 'Penghormatan bagi Para Martir' pada hari Kamis, 30 Oktober 2008, dan langsung dipimpin oleh PM Jepang Taro Aso", kata Wakil Dubes RI untuk Jepang Ronny P Yuliantoro di Tokyo, Rabu (29/10).

Acara tersebut juga akan dihadiri sejumlah menteri kabinet Jepang dan juga orang tua dari almarhum Endang Arifin.

"Kami sudah diberitahu bahwa pemerintah Jepang akan mengadakan peringatan untuk menghormati kepahlawanan dari pemuda Indonesia, dan ini tentunya sangat berarti bagi kedua orang tua almarhum dan juga bagi Indonesia," kata Ronny lagi.

Ronny mengatakan bahwa pengorbanan nyawa yang dilakukan Endang Arifin demi menyelamatkan orang lain merupakan pengorbanan yang tidak ternilai, sehingga tidaklah mengherankan kalau Jepang begitu menghormatinya.

"Kepahlawanan yang ditunjukkan Endang bisa meningkatkan citra bangsa Indonesia di luar negeri dan Jepang khususnya, bahwa hubungan yang mendalam dari masing-masing bangsa dapat menumbuhkan kedekatan hati yang luar biasa," kata Ronny.

Endang Arifin sendiri yang bercita-cita menjadi seorang tentara dan mengirimkan kedua orangtuanya ke Mekkah setelah menyelesaikan masa kerjanya di Jepang, ternyata tidak bisa mewujudkan impiannya itu karena sudah lebih dulu meninggal.

Endang meninggal di usia yang muda demi menyelamatkan dua remaja perempuan Jepang yang sedang terseret arus laut di pantai kota Hyuga, Provinsi Miyazaki, 11 Agustus 2007.

Melihat remaja Jepang itu berteriak-teriak minta tolong, tanpa berpikir panjang Arifin pun segera terjun menolong kedua siswi SMP tersebut. Endang berhasil menyelamatkan nyawa kedua remaja itu, tetapi dirinya sendiri malah terseret arus laut yang kuat dan akhirnya meninggal. Belakangan diketahui Endang ternyata tidak bisa berenang.

Pihak KBRI Tokyo pada Rabu (29/10) pagi menjemput kedua orang tua Endang Arifin yang berasal dari Cirebon, Jawa Barat di bandara Narita. Wasji dan istrinya Saeni binti Cala terbang ke Jepang dengan menumpang pesawat JAL. Keduanya juga memboyong anaknya yang lain, yaitu Nurwati dan Heru Triono.

Menurut rencana keluarga almarhum akan mengunjungi lokasi pantai di mana putranya mengorbankan nyawanya demi orang lain. Pihak Jepang sendiri sudah membuat film dokumenter guna mengenang kepahlawanan Endang Arifin.(kpl/meg)

Sumber : merdeka.com

Friday 16 August 2013

Penting dicatat RI 1 berikutnya "Dua Periode Pemerintahan SBY, Wilayah NKRI Utuh"


Lepasnya kedaulatan negara, bukan hanya menyangkut nilai ekonomis. Akan tetapi lebih dari itu adalah terpuruknya harga diri bangsa. Apapun alasannya, lepasnya Timor Leste, Sipadan, dan Ligitan, serta perusahaan yang memiliki unsur strategis seperti Indosat dan Telkomsel di pemerintahan sebelum SBY mencerminkan negara tunduk pada kekuatan dan tekanan asing. Disebabkan lemahnya kepemimpinan nasional, dalam menjaga kedaulatan. 

Era kepimpinan SBY, tidaklah sempurna. Penegakan hukum terutama kasus korupsi masih bertumpu pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), bukan institusi negara seperti Kepolisian dan Kejaksaan, figur pucuk pimpinan kedua institusi negara ini yang secara kontitusi merupakan hak preogatif presiden, selama pemerintahan SBY belum mampu membawa perubahan. Ditambah bermunculan kasus korupsi, yang melilit elit disekitar SBY menjadi titik lemah dalam 2 periode pemerintahannya. Akan tetapi yang perlu diacungi jempol adalah stabilitas ekonomi makro, pertumbuhan ekonomi dimasa sulit, hidupnya industri pertahanan, serta peningkatan kekuatan pertahanan. Paling penting dari prestasi itu, terjaganya harga diri bangsa dengan utuhnya wilayah NKRI.

Dua Periode Pemerintahan SBY, Wilayah NKRI Utuh

JAKARTA-(IDB) : Politisi Partai Demokrat (PD), Hayono Isman mengatakan dua periode kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak satu pun pulau dan sejengkal tanah wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) jatuh ke negara lain.

"Bahkan pulau yang strategis, yang memiliki cadangan minyak dan gas (migas) terbesar di kawasan Asia seperti Natuna dan Ambalat masih utuh sebagai aset Negara Indonesia," kata Hayono Isman, di Jakarta, Rabu (14/8).


Padahal lanjut Hayono, Pulau Natuna dan Ambalat terang-terangan diklaim Malaysia sebagai bagian dari wilayahnya. Pada era Pemerintahan Presiden SBY, kedua pulau tersebut masih utuh sebagai bagian wilayah NKRI.

Bersamaan dengan itu, menurut anggota Komisi I DPR itu, dalam bidang pertahanan dan diplomasi, prestasi Pemerintahan SBY sudah cukup baik. "Keberhasilan itu tidak bisa dilepaskan dari penguatan dan modernisasi alutsista TNI yang secara bertahap dapat disaksikan dampaknya," ungkap  anggota Dewan Pembina (Wanbin) PD itu.


Terkait dengan pidato kenegaraan Presiden RI pada 16 Agustus mendatang, Hayono Isman berharap Presiden SBY memberi porsi lebih terhadap isu perbaikan ekonomi dalam pidato kenegaraannya nanti.


"Waktu yang tersisa satu tahun lagi hendaknya betul-betul dimanfaatkan Presiden SBY dan kabinetnya untuk mengajak masyarakat secara bersama-sama meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat," harap Hayono Isman.


Pemerintahan SBY lanjutnya, sudah memperlihatkan hasil pembangunan. Tapi ini bukan jaminan bahwa seluruh warga negara telah hidup sejahtera dan makmur.

"Karena itu, semua pihak sangat berharap sebelum menyelesaikan masa bhaktinya, Presiden SBY lebih gencar dan fokus pada bidang pemerataan ekonomi, percepatan pembangunan sejumlah proyek infrastruktur untuk menstimulus ekonomi rakyat pedesaan dan daerah terpencil," saran Hayono Isman.

Sumber : JPNN

Kaibiles salah satu pasukan elit yang menakutkan

interzone
Para Kaibiles (tunggal: Kaibil) adalah pasukan operasi khusus militer Guatemala. Mereka mengkhususkan diri dalam taktik perang hutan dan operasi kontra-pemberontakan.Prajurit korps 'dibedakan dari tentara reguler dengan baret merah marun dengan patch bantalan pedang menyala. Motonya, terinspirasi oleh Henri de la Rochejaquelein, adalah: "Jika saya terlebih dahulu, ikuti saya Jika saya berhenti, mendorong saya di Jika saya mundur, membunuh saya..."

Sejarah

 Pada 5 Desember 1974, pemerintah militer Guatemala menciptakan Sekolah Komando nya (Escuela de Comandos). Tiga bulan kemudian, pada tanggal 5 Maret 1975, itu menamainya Kaibil Operasi Khusus Training Centre (Centro de Adiestramiento y Operaciones Especiales Kaibil). Nama "Kaibil" berasal dari Kayb'il B'alam (Kaibil Balam), pemimpin adat Mam yang lolos dari penangkapan oleh conquistador Spanyol Pedro de Alvarado bawah.Awalnya, Pusat Kaibil terletak pada dua perkebunan, El Infierno ("neraka") dan La Polvora ("Gunpowder") di kotamadya Melchor de Mencos, departemen Petén. Pada tanggal 12 Januari 1989, itu dipindahkan ke bekas markas militer Zona 23, di Poptun, Peten.

Latihan

Menurut Kementerian Pertahanan, misi Kaibil Centre adalah untuk melatih dan mengembangkan pasukan komando elit: "Untuk memilih, dengan cara yang sulit, pelatihan sulit di bawah tekanan fisik dan mental, anggota tentara mampu terlibat dalam operasi komando."Rekrutmen bersifat sukarela. Namun, beberapa tes fisik dan psikologis yang diperlukan sebelum masuk. Pelatihan ini diberikan dua kali setahun dan berlangsung 60 hari. Hanya 64 peserta diperbolehkan untuk setiap periode pelatihan, tidak lebih dari 28 tahun. Tidak lebih dari 10 pernah lulus pada satu periode. Anggota pasukan militer asing kadang-kadang dipilih untuk berpartisipasi dalam pelatihan, yang dianggap sebagai hak istimewa dan kehormatanKomando terlatih dalam perang gerilya, operasi kontra-gerilya, perilaku militer, membaca peta, persiapan psikologis, intelijen militer dan kontra-intelijen. Pelatihan mereka mencakup sistem tangan-untuk memerangi-tangan khusus yang dikenal sebagai Temv-K'a (yang berarti "Tangan Storm"), komunikasi, teknik bertahan hidup, rintangan, hiking militer, senjata khusus, penghancuran rumah dan pelatihan medis darurat. Ini termasuk operasi udara, siang dan malam navigasi, pengaturan kamp dan keamanan, penggelapan, melarikan diri, intervensi dan penyergapan.Pelatihan sangat fisik dan mental menuntut, dan berlangsung selama kedua siang dan malam hari. Tidur diijinkan untuk tidak lebih dari tiga jam sehari, jika hak itu diperoleh. Hak untuk makan juga harus diperoleh, sebelum diperbolehkan untuk makan, tentara harus berhasil memanjat tali, lakukan lima pull-up, push-up sepuluh, dan menjalankan dua mil.Tahap pertama pelatihan, yang berlangsung 21 hari, terdiri dari instruksi teori dan pelatihan militer praktis, di mana tingkat militer dan moral calon diuji. Hal ini diikuti oleh pelatihan militer keras di hutan, yang meliputi instruksi dalam perang hutan serta pembongkaran dan deteksi dan deaktivasi ranjau darat. Selama tahap terakhir, mereka dilatih untuk makan "sesuatu yang bergerak", termasuk ular dan semut, serta akar, untuk mengumpulkan tetes embun dari daun, serta bagaimana melaksanakan serangan pemusnahan, manuver intelijen, dan penetrasi ke wilayah musuh . Selama tahap ini, calon harus menghabiskan dua hari di dalam air leher-jauh tanpa tidur. Tahap ini disebut "El Infierno" karena tingginya tingkat calon panas tropis harus beroperasi masukSelama pelatihan, setiap prajurit memiliki cuaz (yang di Q'eqchi 'berarti: "Brother") ditugaskan untuk sisa dari pelatihan mereka. Mereka menjadi mitra: mereka tidur, makan, dan bekerja sama sepanjang waktu. Jika seseorang membuat kesalahan, mereka berdua menderita konsekuensi.Praktek terkenal sadis proses latihan para Kaibiles mereka dipaksa memelihara lalu membunuh binatang peliharaannya sendiri, yang mencakup membesarkan anak anjing sampai besar dan terbentuk ikatan kedekatan dengan peliharaannya, setelah itu harus membunuh dan memakan binatang peliharaan kesayangannya, serta praktek lainnya menggigit kepala ayam hidup-hidup. Selain itu, direkrut ditembak dan dipaksa untuk melakukan operasi lapangan. Sebagai bagian dari ritual menyelesaikan kursus ini, setiap peserta training harus minum "Bom", campuran tequila, wiski, rum, bir, air, dan bubuk mesiu, disajikan dalam gelas bambu dengan bayonet terikat padanya. Tentara harus meminumnya dengan hati-hati, agar tidak mabuk dan melukai diri sendiri dengan bayonet. Setelah mereka berhasil menyelesaikan ritual ini, mereka dilantik menjadi Kaibiles.Meskipun di masa lalu mereka itu dimaksudkan untuk menjadi unit anti-gerilya, hari ini mereka berorientasi pada upaya anti-terorisme, anti-penculikan dan anti-narkotika, sesuai dengan kebutuhan saat ini.Pada Februari 1999, Komisi Klarifikasi Sejarah (Comisión para el Esclaracimiento Histórico, CEH), kebenaran dan tubuh rekonsiliasi dibentuk di bawah pengawasan PBB dengan Kesepakatan Damai 1996 yang mengakhiri Perang Sipil 35-tahun-panjang negara itu, yang disebut memperhatikan sifat brutal dari pelatihan yang dilakukan oleh Pusat Kaibil dalam laporan akhir, Guatemala: Memoria del silencio ("Guatemala: Memory of Silence"):Bahwa pembuktian ini menjatuhkan citra dari pelatihan kekuatan Angkatan Darat khusus melawan pemberontakan, yang dikenal sebagai Kaibiles, telah menarik perhatian khusus dari CEH. Pelatihan ini termasuk membunuh hewan dan kemudian makan mentah-mentah dan minum darah mereka untuk menunjukkan keberanian. Ekstrim kekejaman metode pelatihan ini, menurut kesaksian yang tersedia untuk CEH, kemudian dimasukkan ke dalam praktek dalam berbagai operasi yang dilakukan oleh pasukan ini, membenarkan satu titik dekalog mereka: "Kaibil adalah mesin pembunuh." (CEH, § 42)Laporan Komisi mendokumentasikan contoh pembantaian warga sipil oleh Kaibiles, terutama Desember 1982 Dos Erres pembantaian.Pada Desember 1996, sesaat sebelum penandatanganan Kesepakatan Damai, Presiden Álvaro Arzu berbicara tentang niatnya untuk melestarikan Kaibiles di masa damai tetapi untuk mendedikasikan kembali mereka untuk perang lain: perang melawan narkotika dan kejahatan. Mengatasi upacara wisuda Kaibil di Poptun, ia berkata: "Sekarang ini pasukan perdamaian yang baru akan menghadapi musuh yang mungkin jauh lebih kuat daripada yang kita hadapi selama bertahun-tahun Kita berbicara tentang pengedar narkoba dan penjahat yang ingin menimbulkan korosi. negara, mereka lebih baik bersenjata, dilengkapi, dan dilatih daripada musuh kita harus hadapi di masa lalu ". Namun, di bawah ketentuan Kesepakatan Damai, tentara itu telah dibatasi untuk pertahanan dari serangan eksternal, yang akan menghalangi keterlibatan dalam jenis tindakan polisi dalam negeri yang diusulkan oleh Presiden Arzu.Merekam dan reputasi Kaibiles 'dipimpin Proyek Interdiocese Gereja Katolik Roma untuk Pemulihan Historical Memory (Proyecto Interdiocesano de Recuperación de la Memoria Histórica, REMHI) merekomendasikan bahwa kelompok dibubarkan dalam Surat laporan April 1998, "Guatemala: Never Again" (Guatemala: Nunca Más).Menurut Jane Intelligence Review "Tentara telah menolak untuk membubarkan  Pelatihan Pasukan Khusus dan Pusat Operasi, bertempat di El Infierno, di sekitar Poptun, Peten." Pada bulan Desember 1998, Jane melaporkan bahwa ada tiga kelompok Kaibiles, salah satu yang terdiri dari instruktur dan dua yang terdiri dari 162 komando masing-masing. Setiap kelompok dibagi menjadi empat 38-pria peleton, kemudian dibagi lagi menjadi regu dari 9 tentara.

Sejarah terkini

Saat ini ada Kaibiles ditempatkan di Republik Demokratik Kongo sebagai bagian dari pasukan penjaga perdamaian PBB MONUSCO Serikat. Pada tanggal 23 Januari 2006, delapan Kaibiles tewas dan lima lainnya terluka dalam penyergapan oleh gerilyawan di Garamba National Park Kongo. Mereka berada di sebuah misi rahasia gagal untuk mencoba untuk menangkap atau membunuh Vincent Otti, wakil komandan Tentara Perlawanan Uganda  (LRA).

Baru-baru ini, telah diduga, bahwa beberapa mantan anggota Kaibiles telah membentuk hubungan dengan kelompok Zetas Los tentara bayaran. Los Zetas adalah kelompok elit pasukan payung Meksiko dan intelijen yang sepi Special Air Mobile Force Grup mereka pada tahun 1999 dan sejak itu dipekerjakan sebagai "penegak" oleh obat pedagang dari Kartel Gulf. Namun, Los Zetas sekarang beroperasi sebagai organisasi independen sejak pecah-nya dari Kartel Gulf pada awal 2010. Pada catatan lain, Otto Pérez Molina menyebutkan bahwa pada tahun 2012 ia akan mengirim Kaibiles untuk melawan kartel narkoba di Guatemala.

Sumber : wikipedia.org

Perlawanan heroik Jenderal Besar Soedirman

merdeka.com

Suatu malam di belantara Jawa tahun 1949. Soedirman terbatuk-batuk sepanjang malam dalam sebuah pondok reot di tengah hutan. Mantel lusuhnya tidak mampu menahan udara dingin malam itu. Paru-parunya terus digerus penyakit TBC yang makin parah.

Di luar pondok, berjaga belasan pengawal Soedirman. Mereka tahu saat ini sang panglima menjadi buruan nomor satu pasukan baret merah Belanda, Korps Speciale Troepen (KST). Nyawa Soedirman dalam bahaya besar.

Tak ada pengawal Soedirman yang tidak meneteskan air mata. Betapa teguh hati jenderal bermantel lusuh yang sakit-sakitan itu.

Soedirman lahir tahun 1916 di Desa Bantarbarang, Purbalingga, Jawa Tengah. Awalnya Soedirman adalah guru di sekolah Muhammadiyah. Dia kemudian mengikuti pendidikan Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor. Soedirman menjadi Daidancho atau Komandan Batalyon di Kroya. Setelah kemerdekaan, Soedirman mendapat pangkat kolonel dan memimpin Divisi Y. Dia membawahi enam resimen di Jatiwangi, Cirebon, Tegal, Purwokerto, Purworedjo dan Cilacap.

Nama Soedirman bersinar saat pertempuran di Ambarawa. Dalam pertempuran yang terjadi tahun 1945 itu, Soedirman dan pasukannya berhasil memukul pasukan Inggris. Dalam sidang tentara, Soedirman kemudian terpilih menjadi panglima TNI. Soedirman memikul tanggung jawab besar. Mempertahankan kemerdekaan RI dari kemungkinan ancaman agresi militer Belanda.

Agresi Militer Belanda II tanggal 19 Desember 1948 sukses menduduki Yogyakarta yang saat itu menjadi ibukota Republik Indonesia. Gabungan pasukan baret hijau dan baret merah Belanda merebut Yogya hanya dalam hitungan jam. Mereka pun menangkap para pimpinan republik. Soekarno, Hatta, Sjahrir dan hampir seluruh pejabat negara saat itu.

Tapi Soedirman tidak mau menyerah. Dia menolak permintaan Soekarno untuk tetap tinggal di Yogyakarta. Saat itu ada perbedaan pendapat antara pemimpin sipil dan pemimpin militer. Soedirman memilih masuk hutan. Memimpin pasukannya dari belantara hutan dan mengorbankan perlawanan semesta sesuai perintah siasat nomor satu.

Soedirman memerintahkan seluruh prajurit TNI untuk membentuk kantong-kantong gerilya. Mundur dari daerah perkotaan yang dikuasai Belanda dan bersiap untuk bergerilya dalam waktu yang panjang.

Dimulailah perjalanan legenda itu. Panglima tertinggi TNI dengan paru-paru sebelah, dan tubuh sempoyongan bergerilya keluar masuk hutan. Mengorganisir anak buahnya dan membuktikan TNI masih ada.

Ibukota negara boleh jatuh, presiden boleh ditawan, tapi TNI tidak pernah menyerah. Benteng terakhir republik ada dalam hati para prajurit.

Kondisi kesehatan Soedirman terus memburuk. Akhirnya dia terpaksa ditandu. Konon, setiap prajurit berebutan mengangkut tandu sang jenderal itu. Mereka semua merasa haru melihat sosok Pak Dirman.

Pasukan baret merah Belanda selalu gagal menangkap Soedirman. Berkali-kali pasukan kebanggaan Jenderal Spoor ini harus pulang dengan tangan hampa saat memburu Soedirman.

Perjuangan Soedirman tidak sia-sia. Berbagai serangan yang dilakukan TNI mampu mendesak Belanda duduk ke meja perundingan. Hingga akhirnya Belanda setuju untuk meninggalkan Yogyakarta.

Maka Soedirman kembali ke Yogyakarta. Resimen-resimen TNI berbaris menyambutnya. Mereka tidak kuasa menahan haru melihat tubuh kurus yang berbalut mantel seperti milik petani itu. Para prajurit tahu hanya semangat yang membuat Pak Dirman tahan bergerilya berbulan-bulan.

Mata para prajurit yang berbaris rapi itu basah oleh air mata. Dada mereka sesak saat memberikan penghormatan bersenjata pada Soedirman.

Semua tahu, gerilya yang dilakukan Soedirman besar artinya untuk Republik Indonesia. Jika Soedirman tidak bergerilya dan melakukan serangan pada Belanda, maka dunia internasional akan percaya propaganda Belanda bahwa republik sudah hancur. Tanpa gerilya, Indonesia tidak akan mungkin punya suara dalam perundingan Internasional.

Di depan istana Presiden Yogyakarta, Soekarno merangkul Soedirman. Soekarno sempat mengulangi pelukannya karena saat pelukan pertama tidak ada yang memotret momen itu. Momen ini penting artinya, pertemuan keduanya seakan menghapus perbedaan pendapat antara pemimpin sipil dan militer.

Soedirman meninggal 29 Januari 1950. Saat merah putih sudah berkibar di seluruh pelosok nusantara, Soedirman tidak hidup cukup lama untuk melihat hasil perjuangannya.

Sumber : merdeka.com

Garuda Pancasila di welcome page Google


MERDEKA

Sekitar pukul 00.00 WIB ada yang berbuah dari halaman depan atau welcome page Google.com. Di halaman depan Google tampak gambar Garuda Pancasila.

Pantauan merdeka.com, Garuda Pancasila tersebut berwarna kuning emas. Letak burung garuda tersebut berada di tengah-tengah sebagai ganti dari huruf O kedua dalam kata Google.

Belum ada penjelasan mengenai lambang burung garuda tersebut dalam halaman muka Google. Mungkin hal ini terkait perayaan Hari Kemerdekaan 17 Agustus yang jatuh hari ini.

Sumber : merdeka.com

Nusantara Fighter mengucapkan "Selamat HUT Kemerdekaan Republik Indonesia, merdeka !!!"

Operasi CIA incar mulai jenggot hingga nyawa Castro


Agen rahasia Amerika berusaha keras menghabisi Fidel Castro. Mulai dengan cerutu sampai pena beracun. Semuanya gagal.
OLEH: HENDRI F. ISNAENI

CENTRAL Intelligence Agency (CIA) selalu punya rencana kreatif untuk menghabisi pemimpin negara lain yang kontra terhadap Amerika Serikat. Salah satunya ditujukan untuk menggulingkan pemimpin Kuba Fidel Castro. Untuk menyukseskan rencana itu, pada awal tahun 1960 CIA menjalankan misi rahasia bernama Operasi Musang. Operasi bertujuan membunuh Fidel Castro atau paling tidak mempermalukannya di hadapan pendukungnya. Bermacam alat pendukung pun diciptakan untuk melancarkan jalannya operasi tersebut.

Proyek pembuatan peralatan itu menggunakan nama sandi MKULTRA, program CIA di saat Perang Dingin. Proyek ini dibentuk pada Maret 1953 oleh Allen Dulles, Direktur Intelijen Pusat CIA. Pengerjaannya diserahkan kepada TSS (Technical Services Staff) dan seorang staf ahli kimianya, Dr Sidney Gottlieb, yang saat itu berusia tigapuluh empat tahun.

Dalam buku Penipuan dan Trik Kotor CIA yang diterjemahkan dari The Official CIA Manual of Trikery and Deception, H. Keith Melton, pakar spionase, dan Robert Wallace, mantan agen CIA menulis berbagai cara yang ditempuh oleh CIA untuk mempermalukan atau membunuh Castro.

Cara pertama diusulkan oleh seorang ahli kimia bioorganik yang tak diketahui namanya. Dia mengusulkan agar Castro disemprot cairan LSD (Lysergic Acid Diethylamide). Cairan itu ditemukan oleh ahli kimia asal Swiss Albert Hofmann pada 1938 saat bekerja di perusahaan farmasi Sandoz. Dia menemukan LSD saat meneliti jamur yang tumbuh di tanaman gandum. Hofmann bahkan sempat dibuat berhalusinasi gara-gara obat temuannya itu yang menetes dan merembes lewat jari tangannya saat melakukan percobaan. LSD, yang kemudian dilarang penggunaannya di akhir tahun 1960-an itu, pernah jadi obat favorit bagi para pecandu narkotika.

Diam-diam Operasi  Musang menyiapkan aksi menyemprot studio penyiaran milik Castro di Havana agar dia terkena efek halusinasi dari obat itu. Bukan saja dengan semprotan, operasi juga diarahkan untuk memasukan cairan kimia khusus ke dalam cerutu Castro yang dikenal perokok berat itu. Cara itu diyakini bisa membuat Castro mengalami disorientasi dan meracau saat berpidato. Seperti diketahui, salah satu pesona Castro ialah saat ia menyampaikan pidatonya yang membakar semangat rakyatnya. Amerika tak menginginkan itu.

Dinas intelijen rahasia Amerika itu pun tak hanya bernafsu menghabisi nyawa Castro, tapi juga ingin memudarkan kharisma pemimpin revolusi itu. CIA pun berhasil menemukan di mana letak kharisma Castro, yakni pada jenggot lebatnya. Operasi Musang pun segera mengatur siasat, mencari cara merontokkan jenggot Castro.

Rencana disiapkan saat Castro sedang bepergian ke luar negeri. Pada saat kunjungan itu biasanya dia meninggalkan sepatunya di kamar hotel pada malam hari untuk disemir. “CIA berpikir untuk membersihkan bagian dalam sepatu bot itu dengan garam talium, obat penghilang rambut yang kuat, yang akan menyebabkan jenggotnya rontok. Bahan kimia tersebut berhasil diperoleh dan diujikan pada hewan. Tetapi, rencana tersebut dibatalkan karena Castro membatalkan jadwal perjalanannya yang sudah diincar itu,” tulis Melton dan Wallace.

Mirip dengan siasat sepatu bot beracun itu, LSD juga bisa dimasukkan ke dalam cerutu Castro. Racun LSD yang terhisap oleh Castro itu pun akan bereaksi merontokkan jenggotnya sekaligus memupus kesan macho pada wajah Castro. Sekotak cerutu khusus akan disediakan buat Castro dalam penampilannya pada acara talkshow televisi yang dipandu David Susskind. Susskind adalah host acara talkshow open end di stasiun televisi WNTA-TV di New York, Amerika Serikat.

Namun, lagi-lagi rencana itu buyar karena tidak ada kepastian apakah Castro sendirian yang mengisap cerutu itu atau malah Susskind juga akan ikut mengisapnya? Pertanyaan itu terlontar dari seorang perwira senior CIA. Karena ragu, akhirnya ide urung dilakukan.

Gagal dalam talkshow, rencana kembali disusun. Kali ini seorang agen ganda Kuba direkrut untuk menawarkan Castro cerutu mengandung botulin, racun yang mengakibatkan kematian dalam hitungan detik. Cerutu itu diberikan ke agen tersebut pada Februari 1961. Tapi dia gagal menjalankan tugasnya setelah rencana jahat itu terendus oleh agen rahasia Kuba. Menyadari kalau Castro berpotensi diracun lewat cerutu, pejabat kemanan Kuba kemudian menciptakan cerutu khusus bermerk Cohiba buat Castro.

Berkali-kali gagal membuat CIA semakin bernafsu menghabisi Castro. Rencana berikutnya lebih mengerikan: Sekotak cerutu berisi peledak disiapkan untuk meledakkan Castro dalam perjalanannya ke kantor PBB. Sama dengan rencana sebelumnya, aksi itu pun batal terlaksana.

Selang beberapa waktu dengan insiden pembunuhan Presiden Kennedy di Dallas, 22 November 1963, seorang perwira CIA diam-diam menemui Rolando Cubela, seorang agen Kuba di Paris. Perwira itu menawari Cubela sebuah pulpen beracun untuk membunuh Castro. Pulpen jenis Paper Mate itu dimodifikasi sedemikian rupa untuk menyembunyikan jarum suntik kecil yang mengandung racun Blackleaf-40.

Tusukan paling ringan dari jarum suntik itu akan mengakibatkan kematian. Cubela punya sedikit saja waktu untuk melarikan diri sebelum efeknya terlihat. Namun, setelah mengambil pelajaran dari kematian Kennedy, Cubela membatalkan rencananya. Sebelum kembali ke Kuba, dia membuang pulpen beracun itu.

Castro pun panjang umur dan masih hidup sampai hari ini. Cerutu beracun tak mampu merontokkan jenggot machonya.

Sumber : historia.co.id

"Mudah-mudahan Amerika kirim Pope yang lain"


Banyak cerita mengenai Bung Karno (6 Juni 1901-21 Juni 1970) di luar yang tertulis di sejarah. Harian detik menurunkannya secara berseri untuk Anda:

Sukarno tergopoh-gopoh keluar dari kamarnya. Pagi itu perutnya melilit dan terburu-buru hendak masuk toilet Istana.

Sesaat sebelum masuk, ia menunjuk ke arah tumpukan koran, yang setiap pagi ditaruh di muka kamarnya. “Heh, ayo cepat, itu koran semua aku mau baca di kakus,” kata Sukarno.

Namun orang yang dimintai tolong malah menyandera harian Suluh Indonesia, corong Partai Nasional Indonesia. “Apa benar ini berita Bapak menukar Pope dengan jalan bypass?” tanya Guntur Soekarno.

Pope yang dimaksud adalah Allen Lawrence Pope, pilot asal Amerika Serikat yang pesawatnya, B-26 Invader, ditembak jatuh TNI di Maluku pada 1958. Saat itu Pope, yang pensiunan militer Amerika, tengah menjalani misi pengeboman CIA buat menyokong pemberontakan Perdjuangan Rakjat Semesta alias Permesta.

Pope awalnya disebut Amerika sebagai tentara bayaran. Nahas bagi Pope. Saat dibekuk, dia membawa banyak dokumen yang mengindikasikan dia memang bekerja buat CIA lewat Civil Air Transport, maskapai yang dipakai dinas rahasia Amerika itu buat operasinya di Timur Jauh.

Pope setidaknya 12 kali membombardir lapangan udara TNI dan pelabuhan sipil di Maluku dan Sulawesi. Pria asal Miami itu hanya mengakui dua misi penerbangan saja, tapi pengadilan Indonesia pada 1960 memvonisnya hukuman mati.

Pada 1961, Presiden Dwight D. Eisenhower diganti John F. Kennedy. Gaya politik luar negeri Amerika pun berubah dan lebih bersahabat terhadap Indonesia.

Sukarno, yang sebelumnya akan digergaji kursi presidennya, malah diundang ke Gedung Putih. Diduga saat itulah masalah Pope dibahas.

Setahun setelah pertemuan itu, Pope diam-diam diantar pesawat Negeri Abang Sam di bandara Jakarta. Sebelum dia dipulangkan, Sukarno berpesan, ”Jangan muncul ke publik, jangan membuat cerita aneh-aneh. Pulang dan menghilanglah dan kami akan melupakan semuanya,” ujarnya seperti ditulis dalam bukuSubversion as Foreign Policy The Secret Eisenhower and Dulles Debacle in Indonesia.

Pemulangan Pope itu tidaklah gratis. Kennedy mesti membarternya dengan pesawat angkut Hercules dan dana pembangunan jalan bypass dari Cawang ke Tanjung Priok.

Lain lagi cerita Bambang Avianto, putra sulung Marsekal Pertama Joko Nurtanio. Anak penggagas industri penerbangan Indonesia itu menunjuk pada bangkai helikopter Bell-47 J2A Roger, yang 30 tahun teronggok di ujung landas pacu Husein Sastranegara.

Bambang mengatakan helikopter kepresidenan era Sukarno itu merupakan hadiah Presiden Kennedy. Helikopter berjulukan si Walet itu status resminya hadiah, tapi sejatinya bagian dari barter dengan Pope. “Itulah salah satu kelebihan diplomasi Bung Karno,” ujarnya.

Kennedy memang ingin menjauhkan Sukarno dari Cina dan Uni Soviet. Taktik yang dipakai adalah memberi bantuan nonmiliter.

Namun bernarkah Sukarno menukar Pope dengan pesawat dan sejumlah proyek pembangunan? Ketika Guntur Soekarno mendesak soal itu, ayahnya cuma tertawa.

Usai urusannya di toilet istana pada 1960-an itu, Sukarno cuma berujar, “Mudah-mudahan Amerika kirim Pope yang lain. Kalau tertangkap nanti, aku minta tukar dengan Ava Gardner dan Yvonne de Carlo!”

Sumber : detil.com

Tekanan batin pengawal presiden Soekarno saat diujung kekuasaan

Maulwi Saelan sebelah kanan (mengenakan baret) Presiden Sukarno dalam sebuah kunjungan kenegaraan ke Korea Utara.
 
MAULWI Saelan, 87 tahun, mantan wakil komandan Tjakrabirawa, pasukan penjaga Presiden Sukarno, masih ingat suatu hari di tahun 1966. Sambil membawa secarik surat dia menghadap Presiden Sukarno. “Saya lapor pada bapak kalau saya dipanggil untuk kembali ke korps.Itu pertemuan terakhir kalinya dengan Bung Karno,” kata Maulwi Saelan ditemui di Sekolah Syifa Budi, Kemang, Jakarta Selatan, Jum’at (21/06).

Waktu itu Maulwi berpangkat kolonel CPM. Ditarik dari penugasannya sebagai wakil komandan Tjakrabirawa. Selang beberapa lama setelah peristiwa G30S 1965, ring satu yang mengitari Presiden Sukarno mulai dipreteli. Limabelas menteri dalam Kabinet Dwikora ditangkap. Pengawalan terhadap Presiden Sukarno perlahan dikurangi dan kemudian ditiadakan sama sekali bersamaan pembubaran Tjakrabirawa.

“Fasilitas untuk presiden mulai dikurangi. Pengawalan hanya dilakukan oleh CPM seadanya. Presiden tidak boleh lagi menggunakan helikopter, hanya boleh menggunakan mobil,” kenang Maulwi.

Pascabubarnya Tjakrabirawa pada 1967, pengawalan Presiden Sukarno diserahkan kepada Pomad AD yang pro Soeharto. Sementara untuk keperluan pribadi Presiden, Detasemen Kawal Pribadi (DKP) yang dipimpin oleh Letkol. Polisi Mangil Martowidjojo, tetap bertugas seperti biasa. Detasemen itu sudah berdiri semenjak awal masa kepresidenan Sukarno.

Menurut Maulwi, para pengawal dari DKP itu mengalami tekanan batin yang sangat mendalam ketika mengawal Sukarno di pengujung kekuasaannya. Tak jarang anggota Pomad AD membentak anggota DKP hanya karena dianggap melayani presiden secara berlebihan kendati sekadar menjalan kewajiban saja.

Pernah seorang anggota DKP mengawal Bung Karno ke Bogor dan membukakan pintu mobil setibanya di Istana Bogor. Seorang perwira Satgas Pomad langsung membentak dan melarang anggota DKP membukakan pintu mobil yang ditumpangi Presiden Sukarno. “Biar dia buka sendiri, kamu kultus!” kata Maulwi mengutip kesaksian seorang anggota DKP bernama Suwarto.

Perlahan Presiden Sukarno makin dikucilkan. Kendati sempat menghadiri berbagai acara di mana dia memberikan pidato, tak satu pun media yang menyiarkan pidatonya. Setelah Pidato Nawaksara 10 Januari 1967 ditolak MPRS, Sukarno resmi diberhentikan. Jadi tahanan rumah dan tinggal di Wisma Yaso sampai nyawa menjemputnya pada 21 Juni 1970.

Bagaimana nasib pengawal-pengawalnya? Pada 1967, Maulwi diinterogasi di markas Kopkamtib. Ditanyai seputar keterlibatan Presiden Sukarno dalam peristiwa G30S 1965. Maulwi sendiri yakin Sukarno tak mengetahui ihwal peristiwa penculikan dan pembunuhan jenderal Angkatan Darat itu.

“Waktu itu (1 Oktober 1965 – Red) begitu Bung Karno turun dari mobil di Slipi, di rumahnya Haryati (istri kelima Sukarno –Red) dia langsung bilang wah! Ik ben overrompeld (wah saya kaget). Mukanya kelihatan bingung,” kata Maulwi. “Saya yakin dia tidak tahu menahu kejadian itu.”

Pemeriksaan terhadap dirinya ternyata berujung pada pemenjaraan. Pada hari yang sama, setelah diinterogasi Kopkamtib, Maulwi tak pernah diizinkan pulang sampai lima tahun lebih kemudian. “Ya begitu saja, saya dipanggil, lantas nggak dikasih pulang sampai lima tahun lebih,” katanya.

Maulwi ditahan di Rumah Tahanan Militer Budi Utomo, Jakarta Pusat selama 4 tahun 8 bulan. Kemudian ditahan diRumah Tahanan diNirbaya, Jakarta Timur selama setahun. Untuk membuat Maulwi tertekan, Kopkamtib sengaja Maulwi menempatkan Maulwi di sel isolasi. “Kalau hujan kehujanan, kalau panas kepanasan. Selama seminggu saya dibuat menderita. Kelaparan dan kehausan. Untung ada penjaga bekas anak buah yang berbaik hati memberikan saya pisang goreng,” kenang Maulwi.

Setelah lima tahun lebih dipenjara, Maulwi dipanggil ke kantor petugas militer. Dinyatakan bebas. “Ya sudah begitu saja. Ditahan dan dilepas seenaknya. Saya, Mursid (Mayjen. Mursid, mantan Dubes RI untuk Filipina –Red) dan beberapa kawan pengawal Bung Karno lainnya juga dibebaskan. Diantar pakai mobil pick up,” ujar mantan kapten Timnas Indonesia tahun 1950-an itu.

Tak terima perlakuan semena-mena, begitu dibebaskan Maulwi sambangi markas CPM. “Saya tekan mereka. Saya tanya sama mereka saya ini komunis bukan? Apa saya ini terlibat G30S nggak? Mereka bilang nggak. Kalau begitu kasih saya surat keterangan kalau saya tak terlibat,” tuturnya, memutar kembali ingatan ke masa lalu. Kini Maulwi Saelan mengisi hari-harinya dalam bidang pendidikan dengan menjadi ketua Yayasan Syifa Budi, Kemang, Jakarta Selatan (sekolahnya lebih dikenal dengan Al-Azhar Kemang-Red). Lelaki yang diangkat jadi anak ke-13 oleh Buya Hamka itu kini tengah menyiapkan terbitnya sebuah biografi yang bakal diluncurkan Oktober tahun ini. “Sejarah harus diluruskan,” pungkasnya.
 
Sumber : historia.co.id

Thursday 15 August 2013

Siapakah RI 1 berikutnya yang mampu menuntaskan MEF ?

TAHUN 2013 ini merupakan tahun penantian yang dinanti untuk menyambut kedatangan berbagai jenis alutsista yang telah dipesan sebelumnya. Kedatangan berbagai jenis alutsista untuk TNI tahun 2013 sampai dengan tahun 2014 merupakan gelombang kedatangan yang diniscayakan mampu memberikan kebanggaan dalam upaya menggagahkan garda republik. Berbagai kesatrian TNI dari segala matra sedang mempersiapkan “resepsi pernikahan” antara batalyon mereka dengan pengantin yang dinanti bernama alutsista.

Pertanyaan Kemudian yang menggema tentu apakah cukup sampai disini atau apa setelah ini atau adakah selain yang ini. Kalau melihat pernyataan dari decision maker di Kemhan dan Mabes TNI, kalimat yang selalu keluar adalah : Sampai tahun 2014 MEF (Minimum Essential Force) akan mencapai nilai target 30-35% dari kebutuhan yang direncanakan. Maka secara matematis pengadaan alutsista apakah itu beli utuh dari luar negeri atau melalui transfer teknologi atau produksi dalam negeri akan tetap berjalan sampai tahun 2024.

MEF yang mencapai kisaran 30-35% tahun 2014 dipastikan akan berganti figur pemerintahan. Presiden Sby tidak lagi menjabat presiden setelah itu sehingga kalkulasi penyelesaian lanjutan pengadaan alutsista untuk MEF sampai dengan tahun 2024 masih berupa persimpangan. Namun kalau berhitung secara indikator makro ekonomi dengan prediksi kekuatan PDB tahun 2014 dan pertumbuhan ekonomi yang stabil tinggi seperti yang terjadi selama 8 tahun terakhir ini maka besaran nominal belanja militer juga ikut terangkat nilainya meski persentase rasionya tetap.

Menurut pemerhati pertahanan dari UI Andi Widjajanto untuk tahun 2014 nanti anggaran pertahanan RI yang terdiri dari belanja rutin dan belanja alutsista diprediksi akan mencapai angka 120 trilyun rupiah. Sementara untuk tahun 2019 diprediksi mencapai 190 trilyun rupiah. Jadi mestinya dengan indikator pertumbuhan ekonomi dan pertambahan PDB serta kekuatan daya beli (APBN) yang terus cemerlang, tidak ada alasan untuk tidak melanjutkan modernisasi alutsista TNI seusai MEF yang diinginkan, meski berganti figur kepemimpinan RI-1.

Sekarang secara jangka pendek, meski masih jauh, tentu perhitungan anggaran tahun anggaran 2014 dilakukan tahun 2013 ini demikian juga perhitungan anggaran 2015 dikalkulasi tahun 2014. Artinya masih ada dua tahun anggaran yang diproses oleh pemerintahan eksisting. Meskipun diantara semua perhitungan anggaran itu tentu ada yang multi years seperti pengadaan PKR 10514, maksudnya pagu anggarannya dibebankan selama 3-4 tahun. Tetapi logikanya mosok gak ada lagi yang mau dibeli selama dua tahun anggaran itu. Pasti ada dong, lalu apa kira-kira alutsista yang mau dibeli itu.

Prediksi optimis kita masih banyak yang ada dalam daftar belanja alutsista untuk kebutuhan MEF. Salah satunya kita meyakini akan ada pengadaan 2 kapal selam dari negara yang berbeda, selain Korsel yang sudah teken kontrak 3 Changbogo. Disamping itu Angkatan Laut yang akan memekarkan armadanya dengan 3 armada tempur tentu memerlukan tambahan kekuatan KRI yang signifikan termasuk kapal selam. Misalnya armada barat dan timur masing-masing memerlukan 60 kapal perang berbagai jenis ditambah dengan armada pusat dengan kekuatan 80 KRI itu berarti secara keseluruhan harus ada 200 KRI.

Sementara saat ini diperkirakan baru tersedia 140-145 KRI. Jika 3 KCR 60 buatan PAL, 3 LST, 2 BCM, 1 kapal latih, 3 KCR 40 Palindo dan 3 light fregat Nachoda Ragam Class bergabung sampai tahun 2014 hitung-hitungannya baru tersedia 155-160 KRI. Terus kekurangan 40 kapal perang itu bisakah dipenuhi dalam MEF tahap II tahun 2015-2019 karena selama periode itu tentu ada juga KRI yang memasuki masa pensiun. Sementara MEF tahap I 2010-2014 kita hanya mampu menambah 15-20 KRI. Pertambahan KRI di MEF II mudah-mudahan akan memberikan keseimbangan antara pertambahan KCR dan PKR termasuk kapal selam sesuai dengan mekarnya armada.

Angkatan Udara dengan kekuatan 16 Sukhoi, 34 F16, 16 T50 Golden Eagle, 16 Super Tucano, 32 Hawk dan 12 F5E pada tahun 2014 tentu belum masuk kategori gahar tetapi cukup memadai dalam menjaga kontrol udara dan kewibawaan dirgantara RI. Namun untuk menghadapi perkembangan situasi kawasan regional yang tidak pasti di masa depan seperti konflik Laut Cina Selatan, perkembangan militer Cina dan India kita tidak puas dengan sejumlah alutsista diatas.

Bukankah Presiden kita pernah mengatakan di depan Universitas Utara Malaysia baru-baru ini ketika menerima penghargaan Doktor HC, tidak ada jaminan di masa depan bahwa di kawasan ASEAN tidak akan terjadi perang. Oleh karena itu kita perlu memperkuat kekuatan pukul udara yang membanting dengan tambahan minimal 2 skuadron jet tempur dari marga Sukhoi untuk pemenuhan kebutuhan jet tempur kelas berat. Dari jet tempur kelas welter masih dibutuhkan setidaknya 2 skuadron jet tempur dari jenis Rafale atau Typhon sembari menunggu kedatangan jet tempur produksi bersama RI_Korsel IFX mulai tahun 2020.

Angkatan Darat juga masih banyak yang harus dipenuhi. Tidak cukup hanya dengan 100 MBT Leopard. Mestinya setiap pulau besar harus ada minimal 2 batalyon MBT. Termasuk dalam penyediaan rudal anti serangan udara, tidak lagi berorientasi rudal “Blok M-Harmoni” tetapi sudah mulai dipikirkan rudal dari jenis AKAP (antar kota antar provinsi) alias rudal jarak sedang. Yang membanggakan tentu perkembangan Roket Lapan yang sudah menuju 3 digit dan tahun ini akan diuju coba. Gabungan teknologi jarak tembak roket Lapan dikombinasi dengan teknologi rudal C705 akan memberikan kekuatan berlipat untuk pertempuran pre emptive strike.

Yang terpenting dari semua itu adalah mempertahankan konsistensi alias istiqomah dalam upaya mendandani militer kita dengan alutsista modern yang tidak hanya berkualitas tetapi juga bernilai kuantitas. Inilah pekerjaan MEF dengan halte 2014 sebagai koridor pergantian kepemimpinan. Ini juga titik kritis yang memang harus dilalui sebagai konsekuensi negara demokrasi. Kita meyakini RI-1 after 2014 adalah sosok yang mampu melihat cakrawala pandang yang bisa melihat perkuatan militer sebagai bagian yang tak tergantikan dalam mengusung nilai-nilai kewibawaan diplomasi dan harkat kedaulatan negara.

Memahami perkuatan persenjataan militer sebagai bagian dari kebutuhan negara modern yang melaju maju merupakan perspektif cemerlang untuk mengantisipasi segala cuaca ekstrim yang mungkin terjadi. Benar, tidak ada jaminan tidak akan ada perang di kawasan ini meski semua negara anggota ASEAN sudah merenda sulaman kebersamaan dalam harmoni. Maka perkuatan persenjataan itu adalah untuk mengawal dan memastikan perjalanan bangsa untuk siap menghadapi kondisi terburuk. Keandalan persenjataan militer adalah bagian dari nilai kewibawaan yang dibangun untuk memberikan peran dan pesan diplomasi yang jelas dan lugas. (sumber : garudamiliter.blogspot.com)

● Jagvane/2013

Aksi heroik Lettu Samadikun untuk negara

openlibrary.org
Cirebon adalah sebuah wilayah penting maritim di Indonesia, dan memiliki sejarah kepahlawanan maritim sejak Kesultanan Cirebon berdiri, yang sangat terkenal yakni Fatahillah, menantu Sultan Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, pahlawan yang mengalahkan Portugis dan pendiri Jayakarta (Jakarta).

Kisah kepahlawanan maritim lainnya adalah Kapten (Anumerta) Samadikun. Peristiwa pertempuran laut di Cirebon terjadi pada tanggal 5 januari 1947 antara Kapal Gajah Mada melawan kapal Belanda HR MS Kortenaer. Pertempuran ini merupakan ekses perjanjian Linggarjati yang dilakukan Antara pihak RI dengan Belanda dari tanggal 7 – 15 Januari 1946. Eskader ALRI pada perundingan Linggarjati mendapat tugas sebagai pengaman, pengawal dan pengangkut delegasi Belanda yang datang lewat laut.

Hasil perundingan itu menimbulkan pro dan kontra di kalangan tubuh RI, dan berpotensi menimbulkan perpecahan diantara para pejuang. Ditinjau dari sudut pandang militer perjanjian itu sangat melemahkan perjuangan Bangsa Indonesia. Menghadapi situasi seperti itu Panglima Besar Jenderal Sudirman memberikan instruksi untuk tetap waspada dan bersatupadu menghadapi musuh.

Sebagai penjabaran dari instruksi Panglima Besar Sudirman, di Cirebon dibentuk Gabungan Komando Bersenjata dan segera mengadakan manuver latihan pada tanggal 4-6 Januari 1947. ALRI pada latihan itu mengerahkan lima buah Kapal dibawah pimpinan Letnan Satu Samadikun. Eskader yang terlibat antara lain KRI Gajah Mada di bawah Komandan Lettu Samadikun, Kapal Patroli P-8 dibawah komandan Lettu Sukamto, Kapal Patroli P-9 di bawah Komandan Lettu Supomo, Kapal Tunda Semar di bawah Komandan Lettu Toto PS dan Kapal Tunda Antareja.

Tanggal 4 Januari 1947, latihan pendaratan Marinir di Gebang, berjalan lancar di bawah Letda Abdul Kadir. Pada 5 Januari, pasukan eskader keluar jam 06.00 dari Pelabuhan Cirebon menuju Daerah latihan. Pada jarak enam mil terlihat Kapal Belanda HR MS Kortenaer didampingi Kapal Pemburu. Pada jarak empat mil Kapal Belanda mengirim isyarat untuk eskader ALRI agar berhenti, hal itu tidak dipatuhi, bahkan Lettu Samadikun memerintahkan kapal eskader untuk melakukan olah gerak dari formasi lini ke formasi Diamon.

Melihat manuver itu, kapal Belanda melakukan penembakan terhadap Kapal Patroli P-8 dan meleset. Lettu Samadikun mengambil Komando dan memerintahkan unsur eskader melakukan despersi menghindar, sementara KRI Gajah Mada mengambil posisi serang, hal itu dilakukan agar tidak semua eskader mengalami kehancuran.

Tembakan kedua Kapal Belanda langsung diarahkan ke KRI Gajah Mada tepat ke lambung kanan, hingga rusak dan bocor. Situasi menjadi tidak mungkin bertahan, Lettu Samadikun memerintahkan pasukan meninggalkan kapal, lalu mengambil senjata Kaliber 12,7 mm dan melakukan tembakan balasan. Kapal Belanda menembakkan meriamnya bertubi-tubi ke arah KRI Gajah Mada. Akhirnya peluru ke 12 meriam Belanda menenggelamkannya, bersama Komandan Lettu Samadikun.

Dalam pertempuran tersebut Indonesia kehilangan satu kapal, tiga pahlawan gugur serta 26 menjadi tawanan Belanda. Tanggal 7 Januari jenazah Lettu Samadikun ditemukan. Dengan upacara militer jenazah almarhum dimakamkan di TMP Kesenden dan dinaikkan pangkatnya menjadi Kapten Laut Samadikun. Untuk mengenang jasanya namanya dijadikan nama jalan di Kota Cirebon.

Selain di jadikan nama jalan di kota Cirebon Kapten laut Samadikun juga di jadikan nama salah satu kapal perang republik Indonesia dengan nama KRI Samadikun (341).

Sedikit profil tentang KRI Samadikun

Di bangun di Avondale Marine, Westwego, LA, di luncurkan pada tanggal 29 July 1953 dan comisooning 5 May 1959. Dan dikirim ke Indonesia dengan nama KRI Samadikun pada 20 February 1973, status sekarang pensiun.

Sumber : garudamiliter.blogspot.com

Profil singkat Jenderal Moeldoko calon panglima TNI bergelar doktor


Moeldoko lahir di Kediri, 8 Juli 1957. Sudah menempati sejumlah posisi strategis di militer. Dia lulus dengan predikat terbaik dari Akademi Militer pada 1981. Setelah lulus dari akademi itu, menduduki jabatan strategis, Wadan Yonif 202/Tajimalela.

Dari sana dia terus melejit. Dipercaya sebagai Komandan Yonif Infanteri 201/Jaya Yudha, lalu menjadi Dandim 0501 BS Jakarta Pusat, dan dipercaya menjadi Sespri Wakil Kepala Staf Angkatan Darat, dan Pabandya-3Ops PB-/Sospad.

Tangga karir militernya berjalan cepat. Sepanjang tahun 2010 peraih bintang Adhi Makayasa ini menduduki tiga posisi penting. Tiga kali rotasi. Diangkat menjadi Panglima Divisi 1/Kostrad, lalu Panglima Kodam XII/Tanjungpura, dan kemudian menjadi Panglima Kodam III/Siliwangi.

Saat memimpin pasukan Siliwangi, Moeldoko sempat dikaitkan dengan apa yang disebut-sebut sebagai “Operasi Sajadah”, operasi yang disinyalir “pengislaman” pengikut Ahmadyah. Tapi soal ini sudah dibantah keras. “Pangdam Siliwangi sudah lapor kepada Panglima TNI, tidak ada operasi itu,” kata Kepala Pusat Penerangan TNI, Iskandar Sitompul, Maret 2011.

Menteri Koordinator Bidang Polkam Djoko Suyanto juga membantah adanya 'Operasi Sajadah' itu. TNI, katanya, termasuk Panglima Kodam tidak pernah melarang seseorang menganut kepercayaan tertentu. "Pemerintah tidak berhak membungkam atau melarang kepercayaan seseorang," kata Djoko Suyanto di Kantor Presiden, 15 Maret 2011.

Dari Siliwangi itu, Moeldoko dipercaya mengemban jabatan wakil gubernur Lemhanas. Berselang dua tahun, Februari 2013, ia ditunjuk sebagai wakil KSAD. Empat bulan kemudian, 22 Mei 2013, ia terpilih menggantikan Pramono Edhie sebagai KSAD yang ke-30.

Selain tekun menimba ilmu kemiliteran, Moeldoko meneruskan pendidikan di perguruan tinggi. Dia meraih gelar Doktor (S-3) jurusan Administrasi Negara dari Universitas Indonesia.

Ditemui dalam pembukaan bazar murah di Markas Besar Angkatan Darat, Jakarta, Kamis 1 Agustus 2013, Jenderal Moeldoko mengaku siap menjabat Panglima TNI. "Siaplah. Prajurit dengan segala kondisi apapun, siap," katanya tegas. Tapi saat ini, dia menambahkan, fokus utamanya adalah menjalankan tugas sebagai KSAD.

Moeldoko sempat menyampaikan rencananya untuk meningkatkan kesejahteraan prajurit dengan mengupayakan kenaikan remunerasi yang diterima para prajurit. "Minimal 15 persenlah. Semakin cepat, ya semakin bagus," katanya.

Sumber : antaranews.com

Nostalgia "romantisme" Indonesia dan Australia





Australia tercatat dalam sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia, sebagai negara sahabat yang berjasa. Hal ini bertolak belakang dengan image Australia saat ini bagi mayoritas masyarakat Indonesia. Runtutan sikap yang ditunjukan Australia mengusik nasionalisme rakyat Indonesia, sejak proses terlepasnya Timor Leste, hingga berbagai sikap dukungan tidak langsung yang ditunjukan Australia bagi Organisasi Papua Merdeka (OPM) hingga saat ini. Hal ini semakin menguatkan sentimen negatif rakyat Indonesia terhadap negara Kangguru ini. Berikut ini catatan manis, masa lalu Indonesia dan Australia, yang diungkapkan Mayjen (Purn) TNI, Sukotjo Tjokroatmodjo

 
 "Mereka tentara yang gagah berani"

Mayjen (Purn) TNI, Sukotjo Tjokroatmodjo, dari Legiun Vetaran RI (LVRI) mengatakan tentara Australia yang berperang melawan Jepang di Indonesia dikenal dengan citra mereka sebagai tentara yang sangat berani dalam pertempuran.

Mayjen (Purn) TNI, Sukotjo Tjokroatmodjo (membelakangi kamera) duduk di samping seorang veteran perang Australia dalam hari peringatan Anzac Day, 25 April 2013. (Credit: ABC)

Sukotjo mengenang aksi kepahlawanan tentara Australia dalam pertempuran di Jembatan Porong, sebelah Selatan Surabaya pada tahun 1942.

“Ada tentara Australia itu mengikat dirinya diatas kereta api, badannya dililitkan dengan senapan mesin dan ia memuntahkan peluru ke arah tentara Jepang sampai pelurunya habis sampai dia gugur di tempat. Aksi itu sangat terkenal dan menjadi buah bibir. Orang-orang seusia saya pasti tahu cerita itu."

Reputasi baik ini menurutnya bukan hanya di medan perang -tentara Australia dikenal sangat dekat dengan warga Indonesia.

“Waktu itu kan Indonesia masih jajahan Belanda, dan mereka menganggap kedatangan tentara Australia ya memang untuk membantu kita agar tidak dijajah Jepang."

Dukungan Australia, menurut mantan ajudan Bung Karno ini, terus berlanjut hingga sesudah masa kemerdekaan, di mana Indonesia kembali menunjuk Australia sebagai perwakilan Indonesia dalam komisi Tiga Negara untuk memfasilitasi perundingan di PBB.

“Saya kenal baik orang Australia yang memimpin delegasi Australia dalam Komisi Tiga Negara itu namanya Thomas Critchley. Ia membela Rakyat Indonesia mati-matian dalam perundingan itu. Ia membantah klaim negatif Belanda mengenai Indonesia di meja perundingan. Sampai akhirnya Indonesia memenangkan perundingan tersebut dan pendudukan Belanda di Indonesia berakhir."

Dukungan atas kemerdekaan Indonesia tersebut juga ditunjukkan oleh masyarakat Australia. Di saat Indonesia berjuang memperoleh pengakuan Internasional sebagai negara merdeka pasca proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, buruh pelabuhan di Australia melancarkan aksi mogok massal dan menyandera kapal-kapal Belanda yang berisi amunisi, senjata, dan sebagian tentara yang hendak diberangkatkan ke Indonesia untuk melakukan agresi militer merebut Indonesia kembali.

Aksi solidaritas buruh pelabuhan ini kemudian semakin meluas. Para buruh transportasi ikutan menggelar aksi serupa, disusul oleh buruh cat, buruh mesin, dan bahkan pegawai kantor dermaga yang sehari-hari mengurusi kapal-kapal Belanda pun akhirnya ikutan melakukan mogok kerja.

Aksi dukungan moral ini akhirnya mengalir dari negara lain dan perjuangan Indonesia untuk merdeka terus menuai dukungan internasional.

Dan pagi ini, di upacara peringatan Anzac Day, berbagai kenangan tersebut kembali hidup di benak para saksi sejarah. (sumber : garudamiliter.blogspot.com)

  ● Radio Australia 

Pasukan Elite Hitler dari Indonesia

Lelaki ini direkrut saat bermukim di Belanda. Alur hidup berbicara lain ketika ia gugur dengan status tentara Jerman dalam Perang Dunia II.

Prajurit Wilson Boback merunduk bersembunyi di reruntuhan rumah seorang petani. Dengan saksama ia memperhatikan gerak-gerik seorang serdadu Jerman yang sedang berjalan menuju ke arahnya.

Jelas tampak bahwa sang musuh tidak menyadari tempat ia bersembunyi, yang hanya berjarak beberapa meter di depannya. Sudah beberapa hari Boback terlibat kontak senjata dengan pasukan Jerman. Sejak ia bersama 30.000 rekannya diterjunkan dari resimen pesawat Glider ke belakang garis musuh sepanjang kota Eindhoven, Nijmegen, dan Arnheim pada 17 September 1944.

Mereka tergabung dalam operasi Market Garden untuk mengamankan setiap jembatan besar di Belanda guna membuka jalan bagi divisi lapis baja Korps 30 Jenderal Bernard Montgomery. Namun, Korps 30 yang dinanti-nanti tak kunjung datang.

Seluruh divisi linud Sekutu yang telah mendarat dipukul telak dua divisi SS (Schutzstaffel) yang mundur dari Prancis yakni Divisi 9 SS Hohenstaufen dbantu resimen 23 sukarelawan SS Frw. Boback dan rekannya bertahan hingga hanya menduduki kantong-kantong kecil pertahanan dekat kota kecil Oosterbeek pada 21 September 1944.

Boback menahan napas, mulai membidikan senapan M1 Garand-nya ke serdadu Jerman yang berjalan semakin deket menuju arahnya. Ia bertanya dalam hati, mengapa serdadu Jerman ini berkulit berwarna dan memiliki profil mirip layaknya orang Asia?

Namun, ia tersadar tak ada waktu untuk berpikir dan sesegera mungkin ia menarik pelatuk. Terdengar bunyi letusan, diikuti sang serdadu Jerman malang itu ambruk ke tanah ditembus timah panas. Hanya tinggal satu meter di depan Boback.

Setelah memastikan keadaan sekitar aman, tidak ada lagi musuh, Boback keluar dari persembunyiannya. Ia berjalan ke tubuh tentara Jerman yang sudah terbujur kaku. Profil warna kulit dari musuh yang baru saja ia tewaskan, benar-benar memancing rasa ingin tahu.

Kemudian, ia mulai memeriksa tubuh lawannya dan menemukan dokumen dan foto. Di dalamnya, Boback menemukan jawaban atas rasa penasarannya. Dalam dokumen dijelaskan identitas dari tentara Jerman yang baru ia tewaskan berasal dari koloni Hindia-Belanda (Indonesia). Ia direkrut jadi tentara Waffen SS (Waffen Schutzstaffel) saat bermukim di Belanda.(Heddy Aryawirasmara, Sumber: Majalah Angkasa, angkasa.co.id)

Ada Relawan Indonesia di Pasukan Elite Hitler

Pria yang tidak diketahui namanya itu tergabung dalam 23 SS-Freiwilligen Panzergrenadier Division Nederland.

Waffen Schutzstaffel atau lebih sering disingkat Waffen-SS merupakan pasukan elite yang ditakuti kala zaman Perang Dunia II. Dalam Bahasa Inggris, waffen adalah weapon (senjata). Sementara Schutzstaffel memiliki makna Regu Pelindung.

Masa awal pembentukannya, April 1925, SS menjadi organisasi sayap militer Nazi, semacam regu pelindung khusus untuk Adolf Hitler. Saat Heinrich Himmler menjadi pemimpin SS, organisasi ini menjadi elit, kesatuan bersenjata sendiri yang kemudian dikenal sebagai Waffen-SS.

Himmler menginginkan anak buahnya mirip pasukan Pretoria di zaman kekuasaan Romawi. Maka ia menerapkan peraturan tegas: mereka yang ingin bergabung harus berusia antara 17 - 22 tahun, tinggi badan 172 - 178 sentimeter (tinggi 178 sentimeter khusus untuk pasukan kawal pribadi Hitler), dan wajib membuktikan asal-usul keturunan Jerman hingga tahun 1800-an.

Terpenting, mereka yang tergabung punya pandangan ke-Nazi-an, tidak berkacamata, sehat fisik dan mental. Gemblengan luar biasa keras diterapkan dalam pelatihan anak-anak muda ini dengan penggunaan peluru asli dan tank nyata.Walhasil, mereka tampil sebagai pasukan nomor satu yang bahkan rela menembak sesama tentara Jerman yang dianggap tidak patriotik.

Namun, seiring mengganasnya Perang Dunia II, Himmler kesulitan mencari tenaga baru Waffen-SS.

Di sinilah Himmler melanggar prinsipnya sendiri dengan merekrut legiun-legiun asing. Tanpa diketahui banyak orang, salah satu legiun ini berasal dari Indonesia. Ya, Nusantara.

Dalam foto hitam-putih yang terbit dalam Majalah Angkasa Edisi Koleksi Waffen-SS, tampak seorang pria Indonesia (Hindia Belanda) menggunakan seragam SS, menyandang senjata di bahu kanan, lengkap dengan pangkat kemiliteran.

Pria yang tidak diketahui namanya itu tergabung dalam 23 SS-Freiwilligen Panzergrenadier Division Nederland. Kesatuan ini awalnya terbentuk pertengan tahun 1941 setara Resimen, "Legion Niederlande", dipimpin mantan Jenderal Belanda, Seyffardt. Tangguh dan berpengalaman di front timur. Terbentuk setara Divisi pada pertengahan 1943.

Sejarah pun tertulis bahwa eksistensi Waffen-SS tidak bertahan lama. Perang Dunia II dikuasai pasukan gabungan AS, Inggris, dan Uni Soviet. Hitler yang terdesak di bunker, marah dan kecewa, mencopot Himmler dari segala posisi yang dimilikinya.

Selanjutnya, disusul perintah larangan bagi SS untuk meneruskan perlawanan dan segala bentuk SS dibubarkan. Dengan demikian, pada 6 Mei 1945, Waffen-SS dihapus. Esoknya, 7 Mei, Jerman takluk tanpa syarat.(Zika Zakiya. Sumber: Majalah Angkasa edisi koleksi no.64, Januari 2010)

Nationalgeographic

Tugas mulia penjaga perdamaian dunia

“Kalau pernah nonton film Blood Diamond, ya seperti itulah kurang lebih kondisi di Kongo.” Pernyataan itu meluncur dari mulut Letnan Kolonel (Marinir) Guslin Kamase, 44 tahun. Film yang dibintangi Leonardo DiCaprio dan Djimon Hounsou pada 2007 itu berlatar konflik di Sierra Leone. Konflik itu menyeret mantan Presiden Liberia Charles Taylor ke Mahkamah Internasional di Den Hag, Belanda.

Guslin bertugas di Kongo sebagai anggota Mission de l’Organisation des Nations Unies en Republique Democratique du Congo (MONUC) pada 2005-2006. Negara yang sebelumnya Zaire ini terus dilanda konflik sejak lepas dari penjajahan Belgia pada 1960. Konflik kian rumit karena melibatkan sekitar 25 kelompok pemberontak.

“Kami ditugaskan membantu mengamankan pelaksanaan pemilu di sana agar para pemilih, terutama di pengungsian, bisa memberikan suara dengan baik. Ya, ngeri-ngeri sedaplah selama bertugas di sana,” kata Guslin di sela acara pameran foto Pasukan Perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa di Epicentrum, Jakarta, Rabu lalu. Pameran itu dalam rangka peringatan hari Pasukan Perdamaian Dunia atau Peacekeepers Day, yang jatuh pada 29 Mei. Dari Kongo, pada 2009-2010 Guslin kembali bergabung dengan pasukan perdamaian PBB. Kali ini ia bertugas di Libanon, sebagai Wakil Komandan Batalion Mekanik.

November nanti, Indonesia kembali akan mengirimkan satu batalion pasukan ke Libanon, yang dipimpin Kolonel Achmad Adipati Karnawijaya. Sebelumnya, dia menjadi observer selama 14 bulan di perbatasan Bosnia-Kroasia. Saat ini dia menjabat Direktur Bina Kerja Sama Internasional Informasi.

Kiprah Indonesia di pasukan perdamaian PBB dimulai pada 8 Januari 1957. Kala itu Indonesia berpartisipasi mengirimkan pasukan pemeliharaan perdamaian melalui kontingen Garuda I ke Mesir, lalu kontingen Garuda II dan III ke Kongo pada 1962.

Bahkan Mayor Jenderal Rais Abin merupakan satu-satunya orang Indonesia, bahkan di Asia, yang pernah menjadi Panglima Pasukan PBB (UNEF) di Sinai pada 1974-1978. Kiprahnya itu turut berperan atas ditandatanganinya perjanjian damai antara Presiden Mesir Anwar Sadat dan Perdana Menteri Israel Menachem Begin pada 17 September 1978 di Kamp David, Amerika Serikat.

Tak mengherankan bila cuma ada dua foto orang Indonesia yang terpajang di salah ruangan Gedung PBB, yakni Adam Malik, yang pernah menjadi Ketua Sidang Majelis Umum PBB, dan Rais Abin.

Menurut Komandan Pusat Misi Pemeliharaan Perdamaian TNI Brigadir Jenderal Imam Edy Mulyono, peran pasukan perdamaian Indonesia di berbagai negara yang dilanda konflik cukup dominan, baik dari segi jumlah maupun peran yang dijalani. Saat ini pasukan TNI terlibat dalam 16 misi perdamaian di berbagai negara yang dilanda konflik.

Mereka tergabung dalam beberapa penugasan, mulai pasukan, pengamat militer, perwira staf, sampai di kapal perang yang tergabung dalam Maritime Task Force.

“Karena peran serta Indonesia kian signifikan, sejak 2011 berdiri pusat latihan pasukan perdamaian seluas 261 hektare di Sentul, Bogor, yang bisa menampung 1.500 personel peserta latihan,” ujar Imam.

Disuguhi Air Bekas Minum Kuda

Bukan tugas mudah menjaga perdamaian dunia tanpa boleh menggunakan kemampuan tempur saat menghadapi ancaman dan serangan terhadap nyawa. Tapi para prajurit TNI umumnya mampu mengambil hati masyarakat setempat, selain tetap memegang
teguh prinsip kenetralan sebagai pasukan Baret Biru.

Saat bertugas di Sudan, yang dilanda perang saudara berkepanjangan pada 2006, Mayor Umar punya kisah menarik. Menurut kesaksian perwira Komando Pasukan Khusus itu, salah satu persoalan kekerasan yang menonjol di sana adalah pemerkosaan dan pembunuhan.

Akibatnya, sekadar butuh kayu bakar untuk memasak pun tak ada yang berani mencarinya ke pinggiran hutan. Kaum lelaki memilih tinggal di rumah karena, kalau tertangkap, bisa dibunuh milisi Janjaweed. “Sedangkan kalau perempuan yang pergi, mereka pasti diperkosa,” tutur Umar seperti tertuang dalam buku Kopassus untuk Indonesia edisi revisi, 2013, yang ditulis Iwan Santosa dan E.A. Natanegara.

Sebagai tentara dari negeri dengan penduduk muslim terbesar di dunia, ia merasa beruntung karena Sudan pun sebagian penduduknya beragama Islam. Mereka jadi tak terlalu sulit didekati. Bahkan, untuk menunjukkan penghormatan terhadap tamunya yang muslim, ada warga yang menyuguhi Umar air minum. Air di negeri yang kerontang itu menjadi aset paling berharga.

“Sayangnya, air minum berwarna kecokelatan dan diambil dari tempat kuda mereka juga minum,” tuturnya.

Karena tak ingin mengecewakan tuan rumah, sambil menahan napas, ia pun terpaksa meminumnya. Tapi, di kesempatan berikutnya, dia punya trik agar terhindar dari penghormatan yang amat berisiko menimbulkan sakit perut tersebut. “Saya selalu mengaku sedang berpuasa kalau sedang melakukan kunjungan.”

***

Lain lagi dengan Mayor Yudha Airlangga, yang tergabung dalam batalion mekanis Kontingen Garuda XXII-A di wilayah selatan Libanon-Israel. Suatu hari seorang anak Libanon melempar batu ke arah pasukan Israel yang tengah berpatroli, dan ada yang merusak pagar perbatasan. Si anak pun langsung ditangkap.

Tapi pasukan asal Indonesia tak tinggal diam. Seraya membujuk tentara Israel agar bersedia melepas anak-anak berusia 15 tahun itu, orang tua dan kepala desanya dipanggil untuk dinasihati agar menjaga anak-anak mereka tidak mengulangi perbuatan.

Hal lain yang nyaris tak pernah dilakukan pasukan dari negara lain, para prajurit Indonesia, kata Yudha, selalu berusaha tersenyum dan memberi salam setiap kali berpapasan dengan penduduk setempat. “Tapi kita tidak melupakan segi keamanan. Jangan sampai kebablasan terlalu dekat dengan warga tertentu karena bisa dianggap tak netral,” ujarnya.

Toleransi dan kemampuan diplomasi para prajurit Indonesia itu pernah dimanfaatkan untuk menyelamatkan 60 anggota pasukan asal Spanyol yang disandera Hizbullah. Mayor Achmad Fauzi ditugasi bernegosiasi dengan Hizbullah agar berkenan membiarkan pasukan Spanyol kembali ke markas.

“Kami orang Libanon sebenarnya tidak menghargai dan menghormati UNIFIL (United Nations Interim Force in Lebanon) karena mereka tidak berpihak secara adil. Tapi kami melakukan ini karena sangat menghormati Anda orang Indonesia,” tutur Fauzi menirukan pernyataan para tokoh Hizbullah.[SUDRAJAT]

  ● Harian detik  

Panglima Perdamaian Dunia dari Indonesia

Rais Abin (kedua dari kanan) sedang menginspeksi Pasukan Perdamaian PBB. Sumber: Koleksi Ed Zoeluerdi/Repro Mission Accomplished, Catatan Rais Abin karya Dasman Djamaluddin.

Israel menyetujui Rais Abin sebagai panglima pasukan PBB. Padahal dia dari negara yang tidak mengakui negara Israel.

Aryono

SETELAH lama mengalami masa diaspora, bangsa Israel berusaha kembali ke tanah yang dijanjikan. Mereka mendambakan rumah bagi bangsa Yahudi sendiri. Dan Palestina menjadi pilihan mereka, sebagai tanah yang dijanjikan. Dari sini, perang pun dimulai. Perang Arab-Israel pertama pecah pada 1948.

Israel menang meski dikeroyok enam negara Arab. Peperangan berikutnya terjadi pada 1956, 1967, dan 1973. Keadaan genting di Timur Tengah mendorong pembentukan pasukan perdamaian PBB (UNEF).

Indonesia mengirimkan Kontingen Garuda yang tergabung dalam UNEF. Suatu kali Rais Abin, kala itu pengajar Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Seskoad) di Bandung, sedang bermain tenis dengan Himawan Sutanto, panglima Kodam Siliwangi. Mendadak datang tawaran untuk menjadi kepala staf UNEF II di Sinai, Mesir.

Pada Desember 1975, dia tiba di Kairo. Di tengah sergapan hawa dingin yang tengah melanda Mesir, dia segera menuju ke Ismailia, markas besar UNEF II, di tepian Sungai Nil. Dia diangkat menjadi kepala staf UNEF II pada Januari 1976. Dia menjadi perwira pertama Indonesia yang menjabat posisi penting tersebut.

Setahun kemudian, Rais Abin diangkat menjadi panglima UNEF II. Dukungan unik datang dari pihak Israel. “Suatu preseden yang unik bahwa kami menyetujui panglima pasukan PBB dari negara yang tidak mengakui Israel. Kami tidak keberatan, tetapi masih ada masalah politis,” ujar Shimon Peres, menteri pertahanan Israel, dalam biografi Rais Abin Mission Accomplished karya Dasman Djamaluddin.

Rais Abin selalu berpegang teguh pada asas diplomasi, terutama untuk mengatasi masalah Arab-Israel. Dia tak bosan bolak-balik dari Sinai (Mesir) ke Jerussalem (Israel). “Waktu itu saya seperti memiliki dua istri, bolak-balik Mesir-Israel, semata-mata supaya kedua belah pihak mau berdialog,” kata Rais Abin.

Anwar Sadat, presiden Mesir, akhirnya mengakui berdirinya negara Israel dan menghentikan perang.

Pasukan perdamaian yang dipimpin Rais Abin mendapat pujian dari Sekretaris Jenderal PBB Kurt Waldheim, menyebutnya sebagai pasukan perdamaian tersukses. Rais Abin menyelesaikan tugasnya sebagai panglima UNEF II pada 11 September 1979.

Wakil Sekretaris Jenderal PBB Brian Urquhart menawarinya tugas baru di Namibia, Afrika. Rais Abin menerima tawaran tersebut asalkan PBB memberitahu pemerintah Indonesia.

Namun permintaan PBB ditolak Menteri Pertahanan dan Keamanan M. Jusuf karena tenaga dan pikiran Rais Abin dibutuhkan di tanah air.

Rais Abin lahir di Koto Gadang, Bukittinggi, Sumatra Barat, pada 15 Agustus 1926, menyandang pangkat terakhir sebagai letnan jenderal. Pada awal kemerdekaan dia bergabung dengan Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo). Dia membangun biduk keluarga bersama mantan wartawati harian Pedoman, Dewi Asiah, dan dikaruniai tiga anak.

  ● Historia™ 

Lukas Kustario “begundal” perang yang ditakuti Belanda

Lukas Kustario

Wartawan Tempo Ali Anwar pernah mewawancarai sosok misterius Kapten Lukas Kustario pada 1992.

BOLA mata Brigadir Jenderal Purnawirawan Lukas Kustario yang bulat itu berkaca-kaca tatkala saya pada 1992 meminta dia menjelaskan posisi dirinya dalam peristiwa pembantaian terhadap 431 penduduk oleh tentara Belanda di Rawa Gede, Karawang, pada 9 Desember 1947.

Lelaki gempal yang saat tragedi tak berperikemanusiaan itu menjabat sebagai Komandan Kompi I Batalion I Divisi Siliwangi di Karawang, langsung menengadahkan wajahnya ke langit-langit rumahnya yang sederhana di Jalan Gadog I, Cipanas Cianjur, Jawa Barat.

Saya tahu, Lukas yang usianya sudah mencapai 72 tahun saat itu, mencoba membendung air matanya, supaya dianggap tetap tegar, tidak mau dianggap cengeng di mata anak muda.

Namun, lama kelamaan air matanya semakin banyak, sehingga kelopak matanya tak mampu lagi membendung. Air mata itupun tumpah. Saat wajahnya ditundukkan, dia lepaskan tangis itu, sesenggukan bagai bocah.

“Maaf, sudah lama saya tidak menangis,” kata Lukas sambil mengusap air mata menggunakan ujung lengan panjang kemejanya. “Saat peristiwa pembantaian, saya sedang tidak di Rawa Gede, tapi di kampung lain di sekitar Karawang. Saya baru tahu pembanyaian itu keesokan harinya,” ujar Lukas.

Lukas mengaku tidak tahu persis alasan Belanda membantai penduduk tak berdosa itu. Namun, dia yakin peristiwa amat dahsyat itu disebabkan oleh rasa frustrasi pasukan Belanda yang tidak mampu menangkap pasukan pejuang, temasuk dirinya dan KH Noer Alie. “Kadang saya menyesal, mereka menjadi korban pembantaian demi melindungi para pejuang, termasuk saya dan KH Noer Alie,” kata Lukas.

Kebetulan, kata Lukas, saat itu daerah sepanjang rel kereta api yang membentang dari Karawang, Rawa Gede, dan Rengasdengklok menjadi basis pertahanan pejuang. Setelah Agresi Militer Belanda I pada 21 Juli 1947, Kapten Lukas Kustario dan KH Noer Alie sama-sama menempatkan pasukannya di Karawang dan sekitarnya.
Namun, secara alami, mereka saling berbagi wilayah operasi gerilya.

Lukas memegang wilayah dari Rengasdengklok, Rawa Gede, Karawang, ke selatan hingga hutan Kamojing. Adapun KH Noer Alie (Pimpinan Umum Markas Pusat Hizbullah-Sabilillah Jakarta Raya) dari Karawang ke utara, membujur dari Rawa Gede, Rengasdengklok, Batujaya, hingga Pakis. “Semua pejuang berpakaian seperti rakyat. Tak ada yang berani menggunakan pakaian dan uniform TNI, karena Karawang-Bekasi sudah dikuasai Belanda sejak Agresi Militer Belanda I,” kata Lukas.

***

ANAK petama Lukas, Lusiati Kushendrini Purnomowati, ingat ia pernah mendengar cerita tentang kejelian dan kelicinan ayahnya itu dari neneknya, Darsih. Ketika itu, kata Lusi, beberapa pekan menjelang peristiwa Rawa Gede, Lukas tengah di rumahnya di Cikampek bersama istrinya, Sri Soesetien, mertuanya Soekirno dan Darsih.

Tiba-tiba di depan rumah sudah berdiri sepasukan tentara Belanda. “Hati-hati Belanda, itu,” kata Darsih membisiki Lukas. Lukas yang masih mengenakan celana kolor, kaos singlet, dan kepala dililit handuk, tenang saja. “Di mana Lukas?,” kata seorang tentara Belanda kepada Lukas.

Lukas pun menjawab santai, “Oo, nggak tahu, barang kali di sana.” Begitu Belanda menjauh, Lukas segera berganti pakaian. “Langsung berangkat,” katanya. Lukas bertemu keluarganya kembali menjelang hijrah ke Yogyakarta pada Februari 1948.

Anak buah Lukas, Letanan Dua (Purnawirawan) TNI Soepangat, mengungkapkan, Komandan Batalion I Mayor Sudarsono sengaja menempatkan pasukan Lukas di Karawang yang “panas,” karena cocok dengan karakter Lukas yang pemberani dan cekatan.

Saat bertempur, Lukas selalu berada di posisi depan anak buahnya. Di sampingnya ada dua orang anak buah. Satu orang memegang bren, satu orang lagi memegang peluru. Saat berhadapan dengan musuh, kata dia, Lukas melakukan penembakan menggunakan bren telah tersedia di sisinya “Yang kesohor Lukas, karena itu (Rawa Gede) daerah kekuasaannya,” kata Soepangat di Cipanas, Cianjur, Kamis dua lalu.

Saking sulitnya Belanda menangkap Lukas, pihak Republik Indonesia menjulukinya sebagai tentara “kelotokan,” sedangkan Belanda menjulukinya sebagai “begundal” Karawang-Bekasi.

Perjalanan karir Lukas di ketentaraan bermula dari Madiun pada masa Pendudukan Militer Jepang 1942-1945. Lelaki kelahiran Magetan, 20 Oktober 1920, itu menjabat chudancho (komandan seksi) heiho di Madiun.Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, Lukas dan rekan-rekannya mendatangi markas tentara Jepang untuk meminta senjata.

Mereka dipanggil Presiden Soekarno ke Jakarta, untuk menjaga keamanan. Sekitar 120 tentara dari Madiun diberangkatkan menggunakan kereta api pada 26 September dan tiba di Jakarta pada 29 September.

Bentrokan antara pejuang dengan tentara Sekutu-Inggris tak terelakkan. Terjadilah pertempuran sporadis, terutama di Senen, Kramat, dan Klender. Sebagian besar pasukan Madiun ditarik ke Surabaya paska peristiwa 10 Nopember 1945.

Yang tersisa di Jakarta tinggal sekitar 20 orang, yakni Seksi I Lukas Kustaryo di bawah Komandan Kompi I Banu Mahdi. Selanjutnya Kompi I ditempatkan di bawah komando Resimen VI/Cikampek.

Pada 13 Desember 1945, kota dan kampung-kampung di Bekasi dibom dan dibakar tentara Sekutu-Inggris. Penyebabnya, 26 tentara Sekutu-Inggris yang pesawatnya melakukan pendaratan darurat di Rawa Gatel, Cakung, pada 23 Nopember, dibunuh oleh para pemuda Bekasi pada awal Desember.

Lukas yang marah atas tindakan biadab tentara Sekutu-Inggris tersebut, membawa pasukannya dibantu pemuda pejuang Bekasi untuk menyerbuan markas Sekutu-Inggris di Cililitan. “Kita bisa menekan moril pasukan Sekutu-Inggris dan Belanda, sehingga mereka tidak bisa keluar dari Cililitan, menimbulkan kekalutan mereka,” kata Lukas dalam wawancara saya pada 1992 itu.

Dari Bekasi, Lukas dan pasukannya ditugaskan ke Karawang. Di sana, Lukas menikah dengan Sri Soesetien, anak Kepala Stasiun Cikampek, Soekirno, pada 15 Oktober 1946. “Kedua orangtua bapak (Lukas), Djojodihardjo dan Prapti Ningsih, beragama nasrani. Saat menikah dengan ibu saya, beliau (Lukas) sudah muslim,” kata Lusiati.

Ketangguhan Lukas kembali diuji ketika pasukan Laskar Rakyat Jakarta Raya menyerang TRI di Tambun April 1947. Saat perundingan dengan Laskar Rakyat Jakarta Raya mengalami jalan buntu, Batalion I yang dipimpin Lukas bergerak ke Tambun. Lukas berhasil memukul mundur Laskar Rakyat Jakarta Raya.

Sebagian dari pemimpin Laskar Rakyat bergabung dengan tentara Belanda di Jakarta. Lukas merasa kecewa tatkala tentara di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Amir Sjarifuddin memerintahkan batalionnya bersama batalion Supriyatna dan batalion Sumantri, agar pindah ke Tasikmalaya.

Sebagai gantinya, ditempatkan Batalion Beruang Merah dari Tasikmalaya. Namun, pertahanan Beruang Merah di Tambun amat lemah, sehingga sangat mudah ditaklukkan Belanda saat Agresi Militer pada 21 Juli 1947. Pertahanan Republik pun beset hingga Karawang dan Cirebon.

Untuk mengembalikan pertahanan yang sudah dikuasai pasukan Belanda, Divisi Siliwangi melakukan konsolidasi. Lukas dan kawan-kawannya pun dikembalikan ke Karawang-Bekasi. Selain melakukan perang gerilya, mereka juga membentuk pemerintahan sipil, untuk menandingi pemerintahan bentukan Belanda.

Dampaknya, moral pasukan dan penduduk kembali bangkit. Watak agresif dan berani pula yang membuat Lukas kerap berhasil melumpuhkan lawan. Sebagai contoh, kata Soepangat, sebelum kembali ke Karawang-Bekasi pada Oktober-Nopember 1947, Batalion I melumpuhkan pasukan Belanda dalam perjalanan dari Tasikmalaya, Sumedang, Subang, Purwakarta, dan hingga Cikampek.

“Nah, yang bisa menghancurkan panser Belanda itu, ya, Kompi Lukas. Itu sebabnya, Belanda amat mengenalnya,” ujar Soepangat. Makanya, begitu Lukas ditempatkan di Karawang, komandan “begundal” ini membikin “gerah” tentara Belanda.

Buktinya, ujar Soepangat, Belanda banyak kehilangan senjata dan jiwa dalam aksi-aksi gerilya yang dipimpin Lukas. Perang gerilya yang diajarkannya adalah, “Sekali serang, dua kali tembak, tiga kali hilang,” katanya.

“Umpamanya saya pegang pistol, ketemu Belanda. Setelah kita tembak, kita ambil senjatanya, lantas kita menghilang. Itu tiap hari kejadiannya. Ini yang membuat nama Lukas kesohor,” Soepangat menambahkan.

Berbagai cara dilakukan Belanda untuk memburu Lukas, namun lelaki dengan tinggi badan 160 senti meter itu bermata dan berotak jeli bagai elang dan licin bagai belut. Dia selalu lolos dalam setiap penyergapan. Selain mampu mengecoh lawan, Lukas juga dikenal sebagai sosok yang mampu menjalin hubungan erat dengan semua komponen pro-Republik Indonesia.

Dalam menjalankan aksi gerilyanya, Lukas selalu berkoordinasi dengan rekan-rekannya, seperti Kapten Mursjid sebagai Komandan Kompi II bergerak di Gunung Sanggabuana, dan Kapten Kharis Suhud, Komandan Kompi III di Kedung Gede hingga Cibarusah.

Lukas mengakui perjuangannya yang cenderung mulus juga berkat hubungan yang erat antara dirinya dengan gerilyawan lain dari badan-badan perjuangan, jawara, bandit, rampok, hingga rakyat jelata. “Saya menyatukan (semua komponen), jangan sampai perang saudara. Sebagian besar tidak menolak, karena tujuannya melawan Belanda,” kata Lukas. “Pasukan KH Noer Alie membantu. Mereka kasih makan, penunjuk jalan. Kalau saya mau mundur ke mana, semua diatur Pak Kiai,” kata Lukas.

Pada saat Divisi Siliwangi hijrah dari Jawa Barat ke Yogyakarta dan Jawa Tengah sejak Februari 1948, Lukas yang naik pangkat menjadi mayor dan naik jabatan sebagai Komandan Batalion 4 Tajimalela, kembali menunjukkan kebolehannya.

Selain memberantas pemberonakan PKI di Madiun, Lukas juga kerap memukul pasukan Belanda. Ketika itu, pada Desember 1948, tentara Belanda dari Batalion 3-11 RI Brigade W/Divisi B yang bergerak dari Banyumas dak merebut Banjarnegara, namun dihentikan dan dipukul mundur oleh Lukas.

Sekembalinya di Jawa Barat pada 1949, Lukas yang cinta Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) “memerangi” para kolaborator Belanda yang bergabung dalam Negara Pasundan dan Federal Jakarta.

Salah satu caranya, dia bersama KH Noer Alie menggelar apel akbar di Alun-alun Bekasi pada 17 Januari 1950. Hasilnya, Bekasi memisahkan diri dari Jakarta, untuk selanjutnya bergabung ke dalam NKRI. Langkah ini diikuti Tangerang dan Bogor.

Saat memperkuat pemerintahan sipil di Jakarta dn sekitarnya, pada Nopember 1950, Mayor Lukas ditugaskan ke Maluku untuk memberantas pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) yang dipimpin mantan Jaksa Agung Negara Indonesia Timur, Dr. C.R.S. Soumokil.

Lukas kembali nyohor berkat kesuksesannya merebut benteng Victoria dan menduduki sebagian besar Ambon pada 3 Nopember. Lukas mengamuk bagai Rambo begitu mendengar Komandan Operasi Maluku Selatan, Letnan Kolonel Ign Slamet Rijadi gugur. “Bakar semuanya!” ujar Soepangat mengenang perintah Lukas. Kota Ambon menjadi api unggun raksasa dalam waktu singkat. RMS pun takluk.

Setelah kembali ke Jakarta pada awal 1951, Lukas menjadi Komandan Batalion “K” Brigade 20. Kali ini dia ditugaskan untuk memberantas gerombolan liar yang kerap melakukan perampokan dan pembakaran rumah-rumah warga di Bekasi, Cileungsi, dan Cibarusah.

Tentu saja Lukas tidak kesulitan, karena para gerombolan yang terdiri dari para bekas pejuang dan perampok, adalah orang-orang yang dia kenal baik pada masa perang kemerdekaan. Hasilnya, seperti dikutip koran Pemandangan, 24 Februari 1951, “Sekitar dua seksi pasukan gerombolan berhasil dipengaruhi tentara.”

***

Ketika asyik di ketentaraan, Lukas diajak oleh mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Kolonel A.H. Nasution mendirikan organisasi politik Ikatan Pendukung Kemerdekaan (IP-KI). Organisasi yang didirikan para tentara pada 20 Mei 1954, itu meraih empat kursi di parlemen dalam pemilihan umum 1955.

Lukas pun menjadi anggota DPR dari Fraksi IP-KI, bersama-sama Letnan Kolonel Daeng, Mayor Katamsi, dan Kolonel Gatot Subroto. Sejak saat itulah Lukas menetap di Cipanas, Cianjur.

Gatot Subroto yang kemudian menjadi Wakil KSAD digantikan posisinya oleh Kolopaking, sedangkan Nasution terpilih untuk anggota Konstituante di Jawa Tengah. Belakangan, Nasution diminta kembali oleh Presiden Soekarno untuk menjabat KSAD.

Lukas dan tentara yang duduk di IP-KI, kecewa dengan sepak terjang Nasution. Karena, Nasution bukan hanya meninggalkan IP-KI, tetapi juga memusuhi sejumlah tentara pendiri IP-KI. “Rupanya, mendirikan IP-KI untuk menyelamatkan dirinya sendiri,” kata Lukas.

Itu sebabnya, Lukas mengaku kapok bila diajak mendirikan organisasi apapun oleh Nasution. “Saya langsung menolak ketika Nasution, mengajak bergabung di Petisi 50,” katanya.

Ketika tak lagi berpolitik, Lukas kembali mengabdi sebagai tentara. Kali ini, pada awal 1960-an, sebagai Komandan Seksi Teritorial di Markas Divisi Siliwangi. Pada masa Orde Baru, Lukas dan para jenderal Siliwangi yang kritis terhadap pemerintahan Soeharto, dipinggirkan.

Sementara sebagian rekannya bergelimang harta dan jabatan, di hari tuanya, Lukas yang berpangkat brigadir jenderal purnawirawan lebih banyak mencurahkan waktunya untuk menyambangi orang-orang yang pernah bersinggungan dengan dirinya sejak masa perang kemerdekaan, dan berbaur dengan warga sekitar Cipanas.

Untuk mengenang peristiwa Rawa Gede, hampir setiap tahun, Lukas bersama rekan-rekannya menjenguk serta menyantuni para keluarga korban pembantaian di Rawa Gede. “Kami juga membikin monumen di Rawa Gede, agar sejarahnya tidak dilupakan generasi muda,” ujar Lukas.

Tak aneh kalau pada era 1980-an hingga 1990-an, rumahnya selalu didatangi para veteran, mantan jawara, mantan rampok, aktivis pemuda, peneliti, hingga mahasiswa skripsi. “Bapak rajin ke Bekasi, Karawang, Cikampek. Termasuk ke Rawa Gede dan Batalion 202/Tajimalela di Bekasi,” kata putra kedua Lukas, Bambang Rilaksana Susetia.

Jenderal “kelotokan” dan “begundal” Karawang-Bekasi itu wafat di Cianjur dalam usia 77 tahun pada 8 Januari 1997. Ribuan orang dari berbagai kelompok dan kelas yang melayat, menangisinya. Warga Cianjur yang mengenalnya sebagai jenderal yang ramah dan bersahaja itu, mengikhlaskan jalan-jalan utama mereka macet total. Para pedagang, rela menutup tokonya seharian.

Saking mengagumi dan menghormati keteguhan Lukas, sampai-sampai mereka menyiapkan tiga liang lahat, yakni di Taman Makam Pahlawan Kali Bata Jakarta, Gunung Kasur Cianjur, dan Taman Makam Pahlawan Kusuma Bangsa Cianjur di Cipanas.

Akhirnya, keluarga memutuskan memakamkannya di Taman Makam Pahlawan Kusuma Bangsa yang terletak di belakang Istana Negara Cipanas. Sehari setelah mendengar kabar Pengadilan Den Haag, Belanda, memenangkan para janda korban pembantaian Rawa Gede, keluarga berziarah ke makam Lukas. “Pak, berhasil sudah perjuangan Bapak,” ujar Lusiati.

 ● Ali Anwar 

Sumber : garudamiliter.blogspot.com